Friday, August 28, 2009
kau bukannya kalah
/I/
Sahabat, hari itu kau berdiri. Kau bukannya kalah, tapi entah hatimu cuma bertelanjang, lepas sajak setelah duka kau teguk secangkir pilu. Dan kau bukannya kalah jika belati-belati kudus penyembah api birahi mengoyak tirai pembatas kristal es cinta bekumu, ganas. Tapi bukankah itu satu2nya cara? Selalu begitu. Lelaki yang terlanjur menyatu dengan topeng rapuh: "keangkuhan" (katamu), semestinya didobrak cemburu.
Topeng yang payah!
Jemarimu terpendam arang membuih, lemah melunglai menyerap cahaya perak.
Namun arang itu gelap!
Dia dan syair2 angkuhnya mendidihkan sejenak masa mudamu. Kau biarkan itu sekam melumat bibirmu, tadinya kau terpancing melihat langit biru sesaat, tadinya kau berkata "biarlah sedetik dingin haru menyeruak", tadinya kau ingin meneriakkan sabda-sabda pecinta di taman bunga bagai lelaki di film-film India, tapi sekam itu terlanjur menguburmu dibawah tumpukan belenggu berkarat.
Kalah? Itu cuma racauan bibir mereka yang awam syair. Karena kesendirianmu telah kau beli dengan topeng murahan.
Hari itu kau berdiri, sahabat. Geming. Masih saja kau coba angkuh. Kau bukannya kalah, katamu, hanya merengek cengeng seperti anak kecil yang putus layangannya: Ha! ini putus cinta, kataku
/II/
Jangan bercinta dengan wanita jika kau penyair.
Tempat penyair itu sunyi. Kekasihnya air mata.
Wanita bagi penyair cuma tinta bagi kertas kosong,
sumbu penyulut ledakan bagi bom syair yang Tuhan simpan di sela-sela kuku
/III/
Katedral sudah kosong, berhala salibnya pun lenyap
Si pemuja kristus itu mencurinya tuk dijadikan kado bagi seorang muslimah
Dan di luar. Jalan aspal bertepuk kecipak kecipuk setiba hujan meradang
Orkestra alam yang menambah
mati hati
disela-sela hujan, berpayung saja tanpa teman
Pulanglah ke rumah, sahabat.
Usah kau ingat
Muslimah
yang menyuling
anggur
cinta
seorang
hamba
Juru Selamat
/IV/
Hari ini masih berdiri kau. Atas nama keserakahan laki-laki. Karena hormon testoron yang bersekresi di otak lelaki pasti menggurui ego-ego (kusebut dia sperma: penduduk venesia). Berdoa semoga kenyataan datang terseret-seret lemas di lantai kuil harapan, tepat di bagian otak paling primitif sebelum mamalia: reptilia!
Rencana sableng macam apa ini? Akalmu coba bijaksana, tapi kadang nafsu lebih jenius menipumu.
Dan setelah wajah beningnya tercitra di belakang pupilmu, kau lalu mundur selangkah. Lagu klasik penyesalan terngiang.
Apakah dengan ini kau puas?
/V/
Sudah... Bikin aku malu saja
Subscribe to:
Posts (Atom)