Monday, September 14, 2009

Aku Dia Anu

Seorang laki-laki yang terlalu sinting di kampungku yang bernama Aku, suatu hari pergi ke acara tujuhbelasan. Dengan memakai pakaian terbaiknya, kaos Snoopy dan celana berwarna kuning “genjreng-genjreng”, tentu saja Aku menyita perhatian khalayak di pusat keramaian itu.

Sementara orang-orang yang ikut lomba tujuhbelasan beraksi, Aku menyorakinya, berteriak-teriak, bahkan memaki-maki.

Ketika melihat lomba panjat pinang, Aku berteiak, “Huuu…. Nggak ekstrim! Kalau mau ekspresikan kekuatan, jangan panjat pinang, tapi panjat pedang, dong!” Lalu melihat lomba makan kerupuk, berteriak lagi, “Orang merdeka, kok makannya kerupuk? Digantung lagi! Yang ngadain acara pasti imperialis! Menjajah moral secara halus! Imperialis makhluk halus!”

Begitulah sampai akhirnya setelah satu jam berteriak seperti orang kerasukan roh jahat, Aku capek juga. Ketika Aku bersandar kelelahan di sebuah pohon yang teduh, seorang gadis menghampirinya.

“Dari tadi kamu berteriak. Nggak malu, ya?”

Mendengar suara seorang gadis yang di telinganya terdengar begitu sinis dan angkuh, Aku hanya diam. Dipandanginya gadis cantik yang mengenakan kostum panitia itu, wajahnya tampak berang, tapi Aku hanya acuh.

“Kalau hanya ingin mengganggu jalannya acara ini lebih baik kamu pulang saja.”

Aku tiba-tiba berdiri. Marah.

“Beginikah tanah merdeka? Orang-orang diusir karena menguraikan suatu kebenaran!? Oh Indonesia… nasibmu…”

“Maksudku bukan begitu,” ujar gadis itu tetap dalam nada sinisnya. “Sebaiknya kamu jangan merusak jalannya acara ini. Karena ulah kamu, banyak peserta jadi pergi. Panitia sudah pusing-pusing dan hancur-hancuran untuk menyelenggarakan acara, jadi tolong, plis, jangan mengganggu!”

Dasar sinting. Walaupun ditegur baik-baik, Aku tetap saja tidak bisa memperlihatkan kelakuan yang wajar. Segera Aku mempertontonkan kesintingannya.

“Nama saya Aku, seorang eksistensialis individualis anarkis, seorang jenius, filosof, politikus, jago debat, sastrawan berbakat, seniman handal, kritikus macam-macam hal, dan seorang yang paling waras di kampung ini. Pendek kata, saya seorang yang multi talented.”

“Trusss..?”

“Tadi saya heran melihat realitas yang terjadi barusan. Bagi saya, acara tadi kurang idealis. Yang buat acara ini siapa? Kamu, ya?”

“Iya. Saya dan rekan-rekan sesama panitia.”

“Nama kamu siapa?” tanya Aku sambil mengulurkan tangannya.

“Dia.”

“Siapa? Diah?”

“Dia tanpa H.”

“Lengkapnya?”

“Dia Doang binti Waras.”

“Aneh.”

“Kenapa?”

“Nama saya Aku, kalau kamu Dia. Aneh sekali. Kebetulan yang menyenangkan. Aku suka. Untuk merayakan perkenalan ini, bagaimana kalau saya mengajak kamu jalan-jalan. Nanti ditraktir. Setuju tidak?”

Dia, gadis itu, hanya diam. Dikeluarkannya kotak kosmetik dari dalam bagnya, bercermin, dimasukkan kembali, lalu menghela nafas.

“Buat apa saya ikut dengan kamu jalan-jalan?”

“Nggak terlalu penting, sih. Biasa saja. Saya cuma ingin agar kamu bisa pacaran dan akhirnya menikah dengan saya. Soalnya kamu cantik sekali.”

Dia terkejut. Tak menyangka Aku akan ngomong seperti itu.

“Dasar sinting! Norak! Kerbau butut sialan! Pintar-pintar gila! Ternyata benar yang barusan dibilang teman saya.” Kini marahnya mau meledak seperti gunung vulkanik yang terbangun.

“Teman kamu bilang apa?”

“Mereka minta agar saya jangan mendekati kamu. Tapi saya ngotot, soalnya dari tadi kuping saya panas gara-gara ocehan kamu. Mereka bilang kalau kamu ini sinting, tidak punya malu!”

“Tidak peduli bilang apa mereka! Saya memang sudah tidak punya malu lagi. Bagi saya, malu, gengsi, atau apa pun itu, hanyalah milik orang-orang feodalis. Sedangkan prinsip saya: Aku benci kata-kata yang tidak diucapkan! Makanya saya tidak usah malu mengucapkan yang seharusnya diucapkan dan apa yang saya inginkan.”

“Sudah-sudah. Lebih baik kamu diam atau sekalian pulang saja! Saya masih sibuk. Banyak kerjaan. Pusing ngomong sama orang gila, bisa bikin gila juga.”

Kemudian Dia meninggalkan Aku. Sepeninggal Dia, penyakit epilepsi Aku kumat lagi. Aku kejang-kejang selama dua jam hingga adzan maghrib berkumandang. Tapi tak ada yang peduli. Dia pun juga tak peduli.

Setelah dilanda kejang-kejang selama dua jam, Aku langsung pulang ke rumahnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Anu, tetangganya, memanggil Aku.

“Hai Aku. Sini dulu!”

“Ada apa, Anu?”

“Dengar-dengar, tadi kamu kumat lagi, ya? Penyakit begitu kok kambuh di depan umum. Apa kamu nggak punya malu?”

“Malu? Buat apa malu? Divonis apa saja, dituduh apa saja, dicap apa saja, saya nggak usah malu, karena memang tidak punya lagi. Dan memangnya malu itu berguna bagi saya?”

“Dasar kamu sinting! Bodoh! Kalau kamu punya malu, image kamu bisa beda. Terus penyakit epilepsi kamu tidak akan kambuh lagi bila kamu sudah punya malu.”

“Wah, bagus juga, tuh. Kalau begitu saya bisa dapat malu darimana?”
Anu, tetangganya Aku, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya berupa batu kerikil kecil berwarna hitam dan sebuah buku saku yang sudah lusuh.

“Ini malu beserta buku panduannya,” kata Anu sambil menyerahkan batu kerikil kecil “malu” itu beserta sebuah buku kepada Aku. “Ambillah!”
Aku mengambilnya, lalu bersorak kegirangan.

“Hore! Sekarang Aku sudah punya malu.”

* * *

Tiga bulan kemudian Aku sudah berubah total akibat “malu” pemberian Anu. Sekarang sifat Aku tidak lagi sinting seperti dulu, akan tetapi sangat waras dan angkuh seperti Dia. Setiap orang yang diajaknya berbicara akan kejang-kejang epilepsi selama dua jam.

Tak ada yang tahu siapa yang bersalah hingga semua orang kejang-kejang di cerita ini.

Apakah penulisnya yang bersalah?

Aku?

Dia?

Anu?

Atau mungkin Kau?

Angin ini

Aroma apa yang Engkau sertakan bersama hembusan angin ini, Tuhan?
Akankah ia bercerita tentang kesejukan?
Ataukah ia datang mengusap rambutku
sebagai pesan keselamatan dari-Mu?

Ketika angin ini menyentuh kulitku, aku tersenyum damai.


Duh Penyelamat, angin bagaikan tentara-Mu yang menusukku dengan pedang lembutnya
Apakah Engkau sedang mengajarkanku tentang nama-Mu di balik angin ini?
Ah, semoga saat ini hatiku sedang ingin belajar

Apakah ini pertanda hati-Mu sedang riang hari ini?
Keceriaan apa lagi yang terjadi di rumah-Mu?
Ataukah angin ini sengaja Engkau kirimkan untuk menjemput doa-doaku?

Ketika angin ini menyentuh kulitku, aku tersenyum damai.

Tuhan, datanglah!

Biarkan seluruh air mataku habis mengering setelah mengalir terlalu banyak dalam tangisan malamku ini, Tuhan. Biarkan air mataku tumpah membebaskan dirinya untuk membuktikan kerinduannya pada-Mu. Biarkan saja, karena malam ini semua jalan telah kukosongkan untuk kita berdiri berhadap-hadapan.

Dukaku yang meruah di persimpangan jalan menitipkan pesan pada-Mu. Kutahu dosa-dosaku terlalu banyak dan aku tak berhak meminta apapun selain pengampunan-Mu, tapi cintaku berontak dan berkata: “Aku hanya menginginkan Engkau, utuh-utuh. Tak lebih dari itu.”

Aku tahu bahwa bahkan surga pun tak pantas untukku, tapi nada-nada fortessimo yang dipetik oleh jemari halus dalam dawai hatiku hanya mengalunkan melodi cinta untuk-Mu. Maka biarkan musiknya tetap mengalir agar seruan ini menggema di setiap sudut-sudut kota yang lengang.

Biarkan kegilaan ini bersenandung dalam ujung ketertatihan pencarian kesejatiannya. Biarkan ia mengakui semua apa yang ada di dalam dirinya sepenuh kejujuran. Biarkan ia menarikan langkah dansanya yang terbaik dalam pertunjukan kudus cintanya di teater pemujaan-Mu yang agung. Biarkan racun keegoisan di cawan perak dalam hatiku tumpah habis agar Engkau bebas mengisinya dengan anggur cinta dari piala emas-Mu.

Kekupu yang beterbangan beserta dayang-dayang bermahkota daun salam itu pun telah kuusir dari pekarangan hatiku. Kini kamar hatiku kosong dan aku menanti-Mu sepenuh kerinduan di pintu gerbang altar cintaku yang sepi.

Datang, datanglah karena aku hanya menginginkan Engkau.

Kursi

/1/

Semenjak apatah ku letak diri sebagian pada papan roba wujud. Ku lekuk di lelikuk kelak tertekuk ketuk dan ku pun duduk. Sebegitu fanatiknya pada uk! mabuk

'Kulah manusia
yang jemarinya cerewet meracau-rapu, tak diam berpindah dari tuts ke tuts, tab ke tab, space ke enter, akumulasikan nominal-alfabet mati, bangkitkan dalam lelarik elektronik, mengubur jengah di browser internet, dan meniupkan selayang ruh pada logam konektor harddisk. Save and exit

"biasanya, kursi tak punya omong."

Pendar-pendar layar laptop, (kan kubanting saja kalau kumarah), pendekar-pendekar kata, dan sebungkus rokok seperti biasa, dan etalase toko ku kaca, dan diam dari si gila, dan terngiang yang tadi mengancamnya, dan sekelebat takutku 'kan parangnya. Semua di hari ini. Setengah jam, sepuluh jam, bagai naga tidur, duduk terus tak ku rasa.

"tak rasa, kursi tak ku hirau."

/2/

penat
dudukku
penat

penat
hatiku
penat

/3/

Siapa tahu wujud
kursi tuhan?
Serupa tripodkah berpenyangga mur besar, 60 centi dari tanah, berbalut logam tipis kena tempa, tanpa bantalan sandar punggung, beralas kain polyester tebal warna merah, ruasnya tak lebih dari tiga jengkal?

Barangkali kursimu kursiku pada Kursi Tuhan senilai paralelnya inkarnasi Yesus pada patung porselen Kristus yang dikuduskan di katedral
yang salib itu sakral, yang roti itu daging, yang anggur itu darah: rekaan para bocah vatikan, oh betapa kudusnya kefanatikan!

Pertanyaan: "Jika kursi Tuhan dan kursi kita sama-sama kursi, mestilah ia berhala! Jika tak begitu, oh Nicea, sepantasnya kursi jadi satu-satunya benda kanonik tak berdefinisi!!"

/4/

"biasanya, kursi tak punya omong."

"biasanya, kursi tak kita hirau."

Sunday, September 13, 2009

Kitab kupu-kupu

Tersebutlah nama Tuhan! Maha Pengasih dan pula Maha Penyayang.

Inilah kitab. Dan kupu-kupu itu, ialah pertanda tentang Cinta betapa memabukkan.

Ceritakanlah padanya kisahmu agar dunia belajar! Maka inilah kisah agar dunia belajar! Beritakanlah padanya pesanmu agar dunia mengenal! Maka inilah kisah agar dunia mengenal!

Inilah doa-doa sang pemilik sayap terindah. Bijak dengan sebijak-bijaknya. Mabuk dengan semabuk-mabuknya. Dan cinta yang sepenuhnya. Maka inilah doa-doanya.

Bacalah! Inilah kisah kupu-kupu.

Tersebutlah sebuah kota yang tak jauh dari hati manusia. Sebuah kota yang dihuni oleh seluruh harapan suci manusia. Setiap harapan itu menjelma menjadi seekor kupu-kupu. Dan sudah ada banyak kupu-kupu yang terlupakan oleh pemiliknya yang hidup di kota itu.

Seekor kupu-kupu yang tetap disenandungkan baginya doa-doa dan mimpi-mmipi oleh seorang pemiliknya, kini telah bangkit. Di antara seluruh kupu-kupu, hanya ialah yang berbahagia. Maka dari itu dengarlah kisahnya.

"Aku memuja nyala api dan nyala api itu kucintai sebagaimana kupu-kupu yang lain mencintainya. Tapi doa-doa yang disenandungkan untukku bagaikan rentak asmara dari dawai-dawai sitar yang diiringi oleh tabuhan gendang kerinduan. Aku memuja nyala api dengan senandungku. Dan aku sedih karena itu adalah senandung dari kekasih yang tak melakukan apa-apa untuk yang dicintainya.

Aku akan tetap bernyanyi dengan laguku. Akulah pemilik jemari lincah yang memainkan musik-musik yang mendamaikan hati manusia. Dan aku selalu membagi sayap-sayap harapanku dengan rela kepada manusia. Mengapa harus aku membaginya dengan nyala api?

Aku terbuai arus dan terbawa kesedihan yang amat dalam. Aku merindukan nyala api itu, namun aku ragu terbakar. Aku masih dapat merasakan panasnya.

Jiwaku adalah gelora dan gelombang. Setiap nafasku hanyalah berkisah tentang api yang kucintai. Dan semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku teringat padanya. Api itu telah mengambil hatiku dan membakar seluruh cintanya hingga asmaraku berkobar.

Inilah kitab asmaraku. Kitab seekor kupu-kupu yang mencintai nyala api.”

Bila saat itu tiba, keresahan memuncak dalam hati sang kupu-kupu, dan tak terhankan pulalah kerinduannya. Maka masuklah kupu-kupu itu di kuil api. Dan disana dia melihat nyala terang itu.

Berkata Kupu-kupu, “Aku melihatmu berdiri di pintu emas. Kau bawakanku cahaya terang dalam sumbu angkasa. Kau terangi langkahku menuju titik kecerahan. Dan akupun menjadi legenda”

Berkata Api, “Cahayaku! Kau adalah cahaya kasihku. Membantu aku untuk bangkit. Dan berlari mendekap jiwamu. Agar kau lebur larut sebagai cahaya.”

Berkata Kupu-kupu, “Kukatakan tidak! Aku adalah gelap dan selalu gelap! Mengapa kau menawarkan cahaya sedang takdirku telah berhenti? Mereka yang berkata bahwa kegelapan bisa menyembunyikan apapun kecuali cahaya telah berbohong! Kegelapan hanya menyelimuti dirinya sendiri! Langkah Tuhan dalam hatiku begitu kelam. Mengapa kasih harus menjadi bagian dari dalam diriku? Aku menjadi legenda karena aku satu-satunya kupu-kupu yang tak menerima cahaya!”

Berkata Api, “Katakan saja kau malu mengakuinya. Tahu apa kau tentang dirimu yang kalut!?”

Berkata Kupu-kupu, “Kau tahu aku dan gelap adalah satu. Dan aku hanya tahu bahwa aku sedang kalut. Mungkin bibir ini tak punya alasan untuk itu. Tapi aku terlalu muda untuk kesepian dan terlalu cantik untuk menangis. Maka kemanakah aku harus berlari?”

Berkata Api, “Akulah cahaya keabadian yang menyala tanpa sumbu kesadaran. Kau telah memilih! Apa yang kau cari? Rindu? Kasih? Cinta? Atau diriku? Hei… lihatlah! Dalam kerinduanmu ada nyalaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Seperti kebohongan saja. Apa gunanya memilih tanpa kesadaran? Aku hanya ingin tetap seperti dulu. Aku tetap ingin menjadi diriku yang hanya satu. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku nyata. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku bersayap. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku ada. Tapi hanya cermin yang dapat kupercaya.”

Berkata Api, “Cermin itu adalah gambaran jiwamu yang sedang menatap keabadiannya. Keabadian yang membawamu lahir untuk dunia untuk cinta dan untuk mencipta dan untuk sadar bahwa ada Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Mengapa seseorang harus mengenal Aku? Mengapa seseorang harus mencari Aku? Apa itu Aku? Siapa itu Aku? Mengapa Aku harus mencari jawaban atas semua itu?”

Berkata Api, “Dengan terangku aku menyala. Dengan kepak sayapmu engkau terbang. Begitulah Aku bekerja. Aku adalah jati dirimu. Aku adalah kesadaranmu. Aku adalah kekasihmu, Aku adalah matimu. Aku adalah akhirmu. Aku adalah kebijakanmu. Aku adalah cahayamu. Dan kukatakan dengan jelas, Aku adalah api yang menyala di hatimu. Laksana sebuah mitos tentang bagaimana kau melihatku, bila mimpi dan suasana itu telah hilang dalam semangatmu, maka musnahlah Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Jangan ucapkan kata-kata terakhir itu. Baiklah aku mengaku, aku tetap mencintamu. Namun aku akan menjadi gila karena cinta ini. Jika aku adalah segalanya, mengapa aku mencipta sekaligus dicipta? Inikah kebingungan? Inikah dunia? Aku berkata: betapa gila dunia ini dan betapa gila diriku yang memilih hidup di dunia ini!? Katakan padaku, mengapa Aku memilih karena ada Engkau?”

Berkata Api, “Apa yang kau sebut gila? Cukup sadari saja bahwa kau adalah percikan cahayaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Hari ini aku telah menemuimu. Dan di dalam dirimu tak ada sesuatu kecuali dirimu. Walau aku tahu bahwa aku pun adalah aroma sucimu.”

Berkata Api, “Apa yang aku sebut gila? Bukankah alam semesta berjalan seperti dengan kegilaanku? Kau adalah nyanyianku, satu dengan penyanyinya. Maka tak ada lagu tanpa penyanyi.”

Berkata Kupu-kupu, “Apakah ini berarti jika lonceng tanpa gema maka ia bukan lonceng? Betapa naïf? Mengapa api harus bernyanyi? Mengapa kepak sayap harus menjadi lagu? Ah, mungkin aku tak akan pernah tahu. Bahkan telingaku pun tak sanggup mendengarnya.”

Berkata Api, “Memangnya kenapa jika ini begitu naif? Memangnya kenapa jika ini terdengar sombong? Aku tahu bahwa kau punya kerendahan hati. Tapi buat apa menghindar dari kenyataan? Jika lagu adalah lagu, maka api adalah api. Sedang kau memiliki api itu dalam hatimu. Haruskah aku berkata, ‘Hei! Kembalikan milikku!?’”

Berkata Kupu-kupu, “Tapi…”

Berkata Api, “Tetapi apa? Aku punya hak untuk bernyanyi. Aku ingin memiliki diriku sendiri. Aku ingin mengalami diriku yang berada di luar diriku. Apakah itu salah? Aku adalah api, dan aku ingin api itu. Dengarkan sajalah apa yang diinginkan hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Bila aku mendengarkan, maka ada doa yang terjalin. Bila aku melihat, maka ada cahayamu di sana. Bila aku beranjak, maka hatiku akan berkobar. Sejujurnya hati ini adalah apimu. Maka tataplah apimu sendiri!”

Berkata Api, “Maka kembalilah! Aku sudah risau menunggu. Peluklah aku dan sentuh diriku dengan asmaramu. Akan kuperlihatkan kenyataan yang sebenarnya. Pulanglah!”

Berkata Kupu-kupu, “Aku malu untuk pulang! Aku adalah kekasih yang begitu merindu namun tak punya apa2 untuk menyejukkan sayapku dalam api. Dan begitulah aku melihatmu. Engkau adalah pembawa cahaya terang dari sumbu angkasa, berdiri di pintu emas, namun aku tetap bersembunyi dalam kegelapan diriku. Jangan bertanya padaku tentang kekalutan, aku adalah kekalutan itu sendiri. Jangan pula mengajakku untuk pulang! Aku telah terbiasa dengan kesendirianku.”

Berkata Api, “Lalu kapan lagi? Kapan kau percepat hari itu? Hari di mana cinta terbukti. Namun jika kau masih ingin terbang, terbanglah! Dan jika kau masih ragu, berpikirlah! Aku akan tetap menyala untuk sayap-sayap rapuh yang rela membakar dirinya dalam apiku.”

Berkata Kupu-kupu, “Maka dengar saja syairku; syairku adalah kerinduanmu. Dengar saja seruling perakku; senandungnya adalah keheningan. Dan lihat saja wajahku di pantulan rembulan di danau yang tenang; akan rembulan selalu kujadikan cermin untuk melihatmu yang menyala di kuil penungguan. Maukah? Siapkah? Jika tidak lebih baik cabik-cabik aku sekarang!”

Berkata Api, “Akulah yang memberimu hati itu hingga kau yang memilih. Bukan aku yang di sini. Dan hati itu akan menyala dan bersamamu, hanya saja tanpa melukai dirimu.”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu cabik-cabik saja aku! Aku bahkan tak punya sayap yang dapat mengepak lagi tanpa datang kehendak dari dalam hatiku!”

Berkata Api, “Betapa sombongnya engkau memiliki sayap itu. Tahukah kau terkadang tangan punya pikiran sendiri hingga ia memukul bukan dengan kehendakmu? Dan tahukah kau bahwa terkadang kaki punya kehendak sendiri hingga ia berjalan bukan dengan kehendakmu pula? Bila hatimu telah dikuasai oleh api, maka kau hanya mampu merasakan nikmatnya terbakar!”

Berkata Kupu-kupu, “Kekasih macam apa kau? Engkau membunuhku dengan hatiku sendiri!”

Berkata Api, “Kekasih macam aku! Aku membunuhmu dengan kemilau api yang ada di hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Andai saja kau berkata tidak, alangkah lebih baik bagiku! Ingin sekali kukatakan padamu kata-kata ini: "Terserah!!!! Bahkan bila kau tak ingin ada namamu dalam syairku! Telah enggan aku hilang hasrat melihat geloramu! Tapi bila kau butuh manfaatkan aku, manfaatkanlah! Karena aku masih kepakan ajaib itu. Namun engkau membunuhku. Kekasih macam apa kau!? Salahkanlah dirimu!”

Berkata Api, “Aku membunuhmu dengan cinta. Jika bukan aku siapa lagi yang harus?”

Berkata Kupu-kupu, “Salahkan saja dirimu! Aku terlalu rapuh untuk dibunuh dengan cinta. Namun itulah yang selalu kuinginkan. Tak ada yang lebih kuinginkan selain itu. Engkau rela melakukannya. Dan keikhlasanmulah yang membuatku malu menghampirimu!”

Berkata Api, “Bukankah itu suatu nikmat; terlahir sebagai benih yang membara dalam rupa seekor kupu-kupu?”

Berkata Kupu-kupu, “Tidakkah kau kasihan padaku? Dulu aku karang dan tak goyah. Aku menyembunyikan kemarahan bagaikan kubah salju yang menatap perahu amarah berlabuh di laut ketika senja kala mentarinya sedang sebesar koin. Semua selaras dalam bahasa alam yang kaku. Semua menyapaku. Seperti angin ini. Dan aku bisa bertahan. Mengapa kau datang membawa cahaya terang itu di depan mataku? Hey… tiba-tiba hatiku merindukanmu. Salahkan saja dirimu!”

Berkata Api, “Mengapa aku harus menyalahkan diriku? Sedangkan akulah angin itu! Akulah yang menghembuskan nafasku. Mengapa aku harus menyalahkan diriku yang menyelimuti setiap dirimu? Bukankah yang kau inginkan itu tetap satu?”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu tunggu apa lagi? Bercintalah denganku sekarang juga! Cumbu aku dan pergunakan seribu kilauanmu untuk merayuku. Karena aku tak memiliki diriku sendiri. Tak seorangpun pernah kecuali dirimu.”

Berkata Api, “Bukankah aku sudah mencumbu jiwamu sejak kau menjadi laguku?

Berkata Kupu-kupu, “Tapi aku inginkan lebih! Aku ingin terbakar dengan api. Bukan dengan lagu.”

Berkata Api, “Jika begitu berhentilah bersyair dan jangan berpikir apa-apa. Bila pikiranmu masih menancap dalam dirimu, maka bukan hatimu yang akan merasakan nyalaku. Biarkanlah cintamu datang dari hati lalu naik menjalar di seluruh tubuhmu. Biarkan kau merasakan apa sebenarnya sentuhan itu. Lalu bakarlah dirimu dengan apiku dengan masuk ke dalamku. Jika kupu-kupu benar-benar mencintai nyala api, maka dia harus membakar sayapnya! Lakukanlah segera!

Chitra

O Pohon Chitra. Roh suci yang bernaung di bawahmu adalah seorang wanita yang dahulunya selalu menjaga kesuciannya. Semasa hidupnya dia tinggal di sebuah tempat di mana manusia tak bisa melepaskan kekejamannya dan kebengisannya. Dan wanita itu bisa mempertahankan kesucian, harga diri, dan kelemah lembutannya tanpa terpengaruh dari kehidupan dunia. Baginya dunia bukanlah belenggu, akan tetapi sebuah titian. Dengan keyakinan dia hidup, dan dengan keyakinan itu pulalah dia wafat.

Dan kini dia adalah roh yang pertama yang harus dijumpai setiap pengunjung taman roh suci ini. Dia dengan matanya yang sederhana, dan wajahnya yang penuh kasih sayang, menyambut Sang Penyair dan muridnya. Hanya dengan menyentuh auranya, Sang Penyair dan muridnya menjadi tentram dan merasa betah berada di bawah Pohon Chitra. Mulailah salamnya, maka dengarlah! Karena ini adalah yang pertama kalinya.

“Salam bagi kalian. Salam. Dan turunlah dengan pita pelangi yang tanpa ragu setelah kalian berkelana sepenuh kelelahan. Salam bagi kalian aku sampaikan.

Salam untuk sarwa sekalian alam.

Akulah Chitra dan begitulah mereka biasa memanggilku. Akulah yang pertama dan akulah satu-satunya wanita yang duduk di bawah pepohonan di taman para roh suci. Apa yang kalian bawa padaku hari ini, yaitu wajah-wajah kalian adalah sebuah anugerah senyuman di wajahku.

Ketika itu aku dipilih oleh Tuhan untuk menjadi dewi yang menyuburkan dunia. Inilah pertanda kasih sayang Tuhan. Aku terima takdirku dengan wajah bahagia dan tanpa pura-pura. Namun sungguh manusia begitu berlebihan, mereka menyembahku dan melupakan siapa yang menciptakanku. Namun aku tak punya kekuatan untuk menyakiti hatiku sendiri. Harus kukatakan pada diriku untuk menerima dan belajar tentang makna. Kodrat itu harus dijalani. Betapa Tuhan selalu mempunyai rencana yang tersembunyi.

Sebagai Dewi Kesuburan aku melakukan pekerjaanku dengan riang. Aku selalu memilih jubah para gadis desa yang sederhana. Dan yang datang dari kota akan memilihnya, aku sering tak berada di sana bila prosesi itu terjadi. Aku selalu berlari dari hati yang menyimpan niat buruk dan diselubungkan. Buhul kerianganlah sebagai tali yang selalu aku pegang, maka tak ada lagi yang lebih baik bagiku selain mengikuti permainan angin.

Aku menjadi pertanda ketika akan datang kebahagiaan para petani. Akulah Dewi Kesuburan, tapi panggil dzatku yang pernah bernama Citra sebagai Chitra. Sungguh aku lebih menghargai apa yang lebih baik bagiku.

Kesederhanaan, ialah langkahku yang abadi. Aku gemerlap dalam lingkupan gaunku. Tapi hatiku selalu tetap menudukkan kepala. Aku mengingat dan menyanyikan kerinduan Tuhan pada diri-Nya. Dan setiap kali aku melakukannya, aku semakin tahu bahwa aku yang menjadi busur panah dalam penciptaan.

Aku bukanlah seruling yang membuat dunia ini merona, tetapi aku nadanya. Aku mencintai kejadian ini. Dan apa yang berlaku padaku, ialah selalunya aku terima dengan rendah hati.

Bila aku merayakan takdirku yang ganda, maka aku tersenyumlah, walau sesekali aku ingin menangiskan sesuatu. Betapa aku sering membutakan mata manusia. Mereka terkadang memandangku sepenuh pesona namun melupakan tentang apa yang terbaik. Seharusnya mereka mencintai yang sepantasnya. Hanya Tuhanlah yang pantas dicinta, bukan aku.

Akulah Chitra, dan aku hanyalah salah satu bukti kasih sayang-Nya.

Maka aku biarkan dunia ini germelap dalam langkahku. Hatiku selalu belajar menerima, dan begitulah aku bersama roh kalian di muka bumi. Aku berjalan dengan kerinduan pada sifat-sifat ilahi. Akulah Chitra. Dan kalian adalah kawan.

Hum…

Akulah Chitra dan tak berbicara hanya dengan lidahku saja. Aku memberikan pemahaman dengan masa laluku. Dan semasa hidupku, akulah titisan imajinasi alam tentang kesuburan. Mereka memanggilku sebagai sang dewi padi, dan terkadang mereka memujaku hingga saat kini. Padahal aku hanyalah malaikat yang tak perlu diberikan persembahan apapun. Tak harus ada sesaji untukku. Biarkanlah Allah yang mendapatkan semua itu.

Akulah Chitra. Aku bernama Citra. Akulah kemayaan yang menyelimuti kekosongan alam. Aku yang menjadikan dunia tak berubah sepi,. Akulah Chitra, dan aku menyebut namaku sepenuh rendah hati.

Tapi semua hal pernah diberikan kesempatan untuk memilih, tak terkecuali gunung-gunung ataupun bintang yang berada di langit terjauh. Dan aku pernah meminta agar aku terlahir di dunia kembali sebagai sesosok manusia. Dan Puji Tuhan Yang Maha Mengabulkan Doa.

Hum…

Wahai Sang Penyair, tataplah mataku! Apa engkau tahu... akulah dzat yang pernah hidup dalam diri seorang gadis muda yang bernama Citra. Tataplah aku. Aku adalah dia di kehidupan terdahulu.

Tataplah mataku, dan bahagiah, wahai sahabatku! Betapa engkau sangat mengenalku. Aku datang padamu di setiap bentuk. Aku menyanyikan kerinduan pada hatimu akan adanya wujud yang lebih tinggi pada alam ini. Aku benar-benar telah melakukannya.

Tataplah mataku dan tersenyumlah! Kalian tak mungkin bisa melihatku dengan tatapan birahi, ataupun amarah. Aku terpilih karena aku begitu ramah dengan sepenuh hatiku kepada manusia. Mereka yang mengenalku tak punya hasrat memiliki aku dengan kasar. Dengan auraku, mereka datang padaku sebagaimana aku datang pada mereka. Aku tak punya dendam, tak punya benci, tak punya dengki, tak punya iri, tidak… aku tak pantas memiliki itu. Terlebih setelah hatiku dibasuh oleh para malaikat semasa aku masih di rahim bunda.

Tataplah mataku, wahai sahabatku. Betapa kita selalu bersama. Aku pernah terlahir di dunia ini sebagai seorang gadis yang rapuh. Muridmu dan dirimu pernah mengenalku. Mereka memilihku untuk terlahir ke dunia, dan aku rela menerima itu. Aku menjalani kehidupan manusia dengan sepantasnya. Dan Puji Tuhan kita selalu bersahabat bahkan ketika aku pergi.

Tataplah mataku dan cerialah! Ketika masih gadis, aku menjadi ibu dalam mimpimu dan aku engkau rindukan. Tanpaku, kekasaran dunia akan kau terima sebagai takdirmu. Denganku engkau melawan keburukan dan bertahan di bawah terpaan angin kering yang melanda lahan-lahanmu.

Aku masih tetap sama yang seperti engkau kenal. Aku telah belajar dari kalian dan pada alam ketika aku masih menjadi gadis yang rapuh, bahwa persahabatan, itulah wajahku nanti yang seperti terlihat kini. Maka kuucapkan Salam bagi kalian. karena kalian adalah yang berharga bagiku.

Kalian adalah sahabat-sahabat yang aku rindukan. Engkau pun merindukanku. Aku selalu bertekad untuk tak pernah berubah ketika aku masih menjadi gadis yang belia. Tapi kita terpisah, dan aku merasa sangat kehilangan. Dan di antara hutan aku menemukan diriku yang beranjak dewasa. Aku memendam segenap kehidupan. Betapa manusia perlu mengalami perubahan, maka maafkanlah aku. Sungguh manusia diciptakan dalam kefanaan. Tapi aku tetap memiliki hati yang merindukan kalian yang kusimpan dalam kitab keabadianku. Maka tataplah aku sebagaimana engkau selalu ingin menatapku.

Langkahku susah diterjemahkan dengan syair. Tapi senyumku, ialah puisi yang nyata untuk mendamaikan di matamu. Maka tataplah aku sebagai sahabatmu yang selalu bercakap sepenuh kelembutan.

Aku menjadi keriangan-keriangan dalam batinmu. Aku membisikkan doa-doa dalam ketidaktahuanmu. Sungguh aku hati suci yang begitu tersembunyi. Aku gadis biasa yang bisa bertahan dengan semua itu. Maka terima kasih karena hanya kalianlah yang pernah membuat kemanusiaanku begitu aku syukuri ketika aku sadar bahwa aku hidup di dunia yang kejam.

Betapa aku senang dan bahagia ketika engkau menangis untukku. Akupun ikut menangis bila itu dengan bahagia. Ya! Lalu aku menangis dibalik ketersembunyianku. Dan serupa gadis yang menjaga rasa malu, ketika engkau memberitahuku yang sebenarnya berlaku, aku berlari dengan langkah tersipu. Aku Chitra, dan betapa riangnya aku.

Aku serupa anggur yang meranum di tepi kolam madu. Dan setiap kemabukanku kusaring dengan lentik bulu mataku hinggalah engkau menyesap air suci yang membuatmu menatapku mataku tanpa birahi. Akulah Chitra, aku yang melakukan itu. dan serupa inilah takdirku.

Akulah hentakan yang merasuk dalam lembut. Aku tak pernah menyakiti hatimu. Sungguh aku selalu dibela dengan bungkusan kemanusiaanku. Terlebih seorang sahabat adalah seorang yang bisa menerima yang lainnya bagaimanapun keadaannya. Bukankah kita saling mengajari tentang hal itu?

Kelemahanku adalah sumber kekuatan bagi mereka yang telah merasa kering karena ketidakmampuan mereka sendiri. Akulah kesejukan yang selalu kalian rindukan. Aku begitu lemah, lembut, penuh kasih sayang, ramah, dan selalu sopan setiap kali menghadapi dunia. Aku melakukannya tanpa ragu karena aku telah membiasakan diriku dengan bayanganku sendiri yang apa adanya. Setiap kali aku memandang cermin aku akan bersyukur. Dan dengan itulah caraku agar aku tak gentar membawa kelemahan hatiku.

Dan sekali lagi tataplah mataku! Sebagai roh yang merindukan setiap bentuk kehidupan terdahuluku, aku merindukan semuanya dan aku merindukan kefanaan kita dahulu. Ingatkah engkau pada saat kita menjadi sahabat dan engkau jatuh cinta padaku? Wahai, Penyair. Betapa kodratku ialah untuk menjadi yang terkasih dan tersayang untuk kalian di duniamu. Engkau tak mungkin bisa melihatku sebagai mangsa jika kau serigala. Jika cinta adalah nafsu, engkau tak pantas menerima bayanganku. Akulah Chitra, dan takdirku sebagai manusia adalah menjadi perumpamaan kasih sayang-Nya.

Hum…

Setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, dan aku mengetahuinya lebih awal. Betapa beruntungnya diriku. Tapi itu bukanlah kebetulan; itulah yang kalian akan dapatkan bila kalian berjalan dengan sepantasnya di dunia ini.”

Dan itulah cara roh Chitra menceritakan dirinya.

Lalu Sang Penyair, tahulah dia, bahwa dia tak perlu menundukkan kepalanya di hadapan wanita yang kini sedang berada di depannya. Dan ketika dia melihat Roh Chitra yang duduk bersila di depannya, maka dilihatnyalah wajahnya yang terasa tak asing lagi.


“Puji Tuhan. Betapa Citra selalu seperti itu.”

Maka terberkatilah dia yang duduk dengan jubah kesederhanaan. Memujilah dirimu akan sifat-sifat semacam itu, karena dengan ketiadaan yang menyelimutinya, sesungguhnya di hatinya ada kekayaan yang sejati.

Keselamatan

Puji Tuhan yang memberiku nama Keselamatan.

Mari kawan, berteduhlah di sini, tak ada paksaan bagimu untuk datang, namun inilah tempat yang selalu kalian cari-cari.

Hum. Betapa senang hatiku, betapa riang hatiku. Kalian datanglah ke sini dan saksikanlah wajahku yang mempesona. Tak perlu ada yang kalian lakukan selain melakukan yang kalian inginkan. Namun lakukan itu dengan hati yang suci karena aku tak punya dendam dan aku bermain dengan adil.

Aku berkilah tentang diri-Nya. Dan sabdaku berkisar tentang pengabdian kepada-Nya.

Dengarlah ceritaku wahai kawan. Apakah kalian pernah menemukan wajahku? 'Benar' tentu saja jawabannya. Namaku adalah nama dari setiap agama. Wajahku adalah wajah setiap agama. Dan langkahku adalah langkah setiap agama. Karena itu, panggillah aku sekali lagi ‘Keselamatan’.

Panggil aku Agama, tapi aku lebih senang mendengar Keselamatan. Aku sudah ada sebelum Yang Suci Nan Terpilih lahir ke dunia. Aku ada di setiap benua, di setiap peradaban, dan di setiap masa.

Aku menawarkan kepada kalian segala benda yang dibutuhkan rumah yang ada di balik dada kalian. Semuanya berkilauan, tapi kalian harus memilah. Tak ada keterpaksaan dalam pemberianku. Terimalah, atau tidak. Tuhan tidak mewajibkanku untuk memaksa kalian.

Ketika Tuhan menciptakan aku, Dia memberikan aku perhiasan dan jubah yang rapuh. Kulitku adalah wahyu; begitu halus dan sangat terjaga; namun ketika manusia memolesnya, akan kulitku mengelupas. Bola mataku adalah sabda; mereka yang tak mampu menatapnya kemudian menengok pantulannya di telaga, beberapa yang lain melukisnya kemudian menyembahnya. Suaraku adalah ramalan yang telah melahirkan musik-musik indah; dan begitulah manusia; ada yang mendengar, ada pula yang tuli. Namun aku tetap berdiri untuk manusia, karena aku tahu bahwa kemurnianku terjaga dalam hati.

Kukatakan kepadamu, aku bisa datang dengan sendiriku atau mereka menyebut namaku sambil berdusta. Mereka menganggap dirinya sebagai wakilku di muka bumi, menyerukan namaku dengan mengaku sebagai manusia suci; maka ketahuilah, beberapa di antara mereka adalah musuh yang nyata. Kusadari ini; aku hamba yang begitu lemah. Maka aku selalu bersabar dan seluruh urusan tentang diriku akan kuserahkan kepada Tuhan. Tapi rohku akan tetap suci, karena begitulah Takdir menyebut namaku di Loh Keabadian.

Manusia dapat mengganti jubahku tapi tak dapat menggores kulitku. Kuserukan padamu! Berikan belati! Berikan roti! Berikan anggur! Berikan salib! Berikan dongeng! Berikan api! Berikan berhala! Namun aku tetaplah Keselamatan walaupun kalian mencoba mengganti diriku.

Hampir semuanya yang aku kenakan ialah kebijaksanaan yang dikerjakan manusia. Tolehlah kepada wajah ini dan ceritakan padaku dengan kilahan yang lebih semarak daripada api. Beberapa di antaranya akan kau temukan pelbagai rupa yang lebih buruk daripada wajah binatang; namun jika mata hatimu terbuka, maka pandanglah wajah sebenar dari diriku, karena akan kau temukan yang sejujurnya tentang jalan itu.

Maka inilah kebahagiaan sekaligus kesedihanku. Sekali-kali tiada aku berpaling dari kenyataan yang menimpaku. Sesungguhnya agama itu berada dalam keadaan yang rapuh, tapi nafas Keselamatan akan tetap berhembus.

Ini adalah rohku. Jalan yang dipilihkan Tuhan untuk kalian lalui. Akulah yang dilewati jika kalian ingin mencapai-Nya. Aku adalah salah satu sifat-Nya. Maka demi diriku, mari kita memuji untuk-Nya.

Sebelum terlahir, hatimu pernah kubasuh dengan darahku. Maka biarkan tanganku menyentuhnya sekali lagi agar senandungku hadir bersamamu untuk berjalan. Atau tidak, maka dengan begitu, kau akan selalu mencariku dengan inti hati yang telah dipasang Tuhan kepadamu.

Aku berasal dari kota yang sangat suci. Sebagai yang terpilih di antara para malaikat yang gemilang. Jubahku adalah kecintaan Tuhan. Langkahku serupa wewangian yang tak pernah berhenti memanjakan penciuman kalian. Dan dengan itu, Tuhan memilihkan nama untukku. Betapa aku senang dengan kehormatan ini. Nama Ilahi dibiarkan-Nya berjalan menghampiriku dan memelukku di tempat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Dan di manapun aku berjalan, dan bila aku memandang ke belakang, maka akan kupandang jejakku yang menjadi cahaya sejati di dunia.

Tuhan memberiku kunci menuju pintu-Nya. Maka bagi mereka yang tak mengkhianatiku, akan kubukakan pintu dengan suka rela.

Begitu banyak yang pernah datang. Kisah ini tak akan pernah berhenti. Semuanya jelas! Semuanya adalah wakil Tuhan yang datang untuk menyerukan namaku agar jika kalian mengingatnya, maka aku akan berlari sepenuh kerinduan menghampiri kalian. Sungguh aku adalah tamu yang sangat pantas untuk kalian sambut di mana saja engkau berada.

Berjalanlah di belakangku! Memelukku, ianya jadikanlah tujuanmu! Karena hanya dengan begitu kalian dapat menengok wajah Tuhan yang penuh cinta kepadamu.

Selalulah persembahkan budak setia yaitu para malaikat yang akan menjaga setiap kali kalian menyebut namaku di rumah-rumah tetanggamu, kerabatmu, saudara-saudarimu, dan teruntuk ayah bundamu. Percayakan padaku. Dengan namaku yang mengikut berkah Tuhan di bibirmu, para malaikat akan menjaga, dan tercatatkanlah amalan.

Terlepas dari semua borok-borok yang melekat pada wajah agama, aku tetap pantas untuk diperjuangkan. Akulah Keselamatan, siapa yang mencoba menghindar dariku akan menyesal sepanjang hayat. Kukatakan padamu tentang satu sabda ini, karena aku tetap bersarang di hati yang suci. Manusia selalu berbelok dan berpaling. Padahal jika saja mereka mendengar, para nabi akan tersenyum.

Kukatakan sekali lagi. Aku bersarang di hati yang suci. Aku bagaikan api yang dijaga para raksasa yang hidup di gua. Dan mereka menjagaku dari tangan-tangan manusia yang di hatinya ada rasa iri.

Mereka selalu datang untuk mencoba membawaku agar aku dapat hidup berdampingan dan sejalan dengan kalian di tengah umat manusia. Namun sungguh bangsa manusia benar-benar diciptakan untuk lupa; manusia menyalib, mendera, menggantung, membunuh, merajam, melempari mereka yang di pundaknya membawa kabar gembira – karena manusia hanya mengetahui apa yang mereka alami. Aduhai, semoga pengampunan Tuhan datang kepada mereka, dan aku tetap mencintai manusia karena akulah Keselamatan.

Betapa agama yang sebenarnya hanya diketahui oleh hati yang rahasianya dijaga oleh rahasia dan menyembunyikan yang terdalam. Maka jangan pernah mengeluh jika Yang Terpilih melakukan apa yang tidak pernah kau lakukan. Ikutilah! Sesungguhnya Yang Terpilih telah diberi kekuatan untuk mengetahui rahasia dari segala rahasia.

Biarkan agama menjadi salju di matahari! Biarkan agama menjadi bahtera di gunung! Biarkan agama menjadi kunci di padang! Sesungguhnya mereka tak akan mengerti. Karena apa yang mereka lihat, hanya itulah yang mereka percayai. Kukatakan padamu hari ini, ambillah apa yang lebih baik untukmu!

Agama merupakan jiwa terdalam dari setiap hukum yang berada di dunia. Di manapun kamu berada, di kala telingamu mendengar nada-nada, di kala matamu melihat warna dan cahaya, di kala segala sesuatu menyelimutimu, di sanalah terdapat agama. Agama adalah cahaya dan ia adalah sesuatu yang bergerak. Dan rahasia agama ketika namanya dihilangkan di dalam namanya maka akan terbentuk nama Tuhan. Itulah agama sejati! Itulah agama alam semesta.

Dan panggil aku agama, namun aku lebih menyukai Keselamatan. Aku lahir di dunia ini dalam rupa yang indah. Aku datang padamu di setiap bentuk. Aku turun di malam seribu kilauan rembulan untuk membangkitkan para penyair agar mereka bersajak sepanjang malam. Aku turun dan dibawa oleh para malaikat di malam itu sebagai simbol kekuatan.

Keselamatan, Agama, Kekuatan, itulah namaku. Maka siapa yang menyampaikan aku pada tetangganya, maka aku akan mencelupkan hatinya dalam belanga madu Tuhan.

Maka terberkatilah mereka yang tidak melakukan apa-apa selain membawa cahaya Keselamatan di dunia, dan pula bagi mereka yang tahu bahwa Kebenaran semu yang dipaksakan adalah kejam. Karena sesungguhnya mereka itulah orang yang paling taat beragama dan begitu mencintai tetangganya, lalu mereka tak mendapatkan apa-apa selain berlipat-lipat dari apa yang pernah mereka berikan.

Syair

Maka berbicaralah dia, yang anggun dalam barisan kata-kata, terselimutkan dengan getaran jiwa, dan selalu memenangi ciuman surga; Roh Syair, bersabdalah ia pada .

Aku merindumu, betapa seringnya kata-kata ini harus kuucapkan. Aku begitu merindukanmu. Kegelapan malam telah mencuri hatiku, lalu ia menjadikannya bagian gelap dari rembulan, dan kini aku tak punya apapun untuk kuberikan padamu sebagai persembahan di pertemuan agung ini.


Siapa aku di Taman Roh Suci ini? Aku belumlah sesiapa bagi penghuni alam semesta sebelum engkau menarik nafasmu dan mengucapkanku sebagai syair-syairmu. Akulah syair-syairmu. Betapa aku merindukanmu.

Tangisan ini menjadi saksiku; tangisan tentang kerinduanku. Setelah kita terpisah, banjir melanda setiap langkahku, dan aku hampir tenggelam, sayapku selalu basah oleh air mataku sendiri.

Dia yang melihat jiwaku, dan menjadi penghiburku, telah menemukan semacam nuansa berbeda di dunia ini. Tentang nuansa sedih, gelap, kacau, temaram, akan kerinduan Roh Syair kepada . Mereka hampir saja menghapus namaku dari deretan bangsa Roh Suci, tapi kukatakan pada mereka ‘Dia pasti datang! Dia pasti datang! Keasihku pasti datang!’

Dan kini engkau telah datang. Bahkan ketika engkau telah berdiri di hadapanku, aku masih sangat merindukanmu. Aku begitu merindukanmu. Aku ingin memelukmu. Tenggelamkan aku dalam hangatmu!

Tapi aku tak pantas mempersembahkan apapun kepadamu, wahai kekasihku. Aku belum pantas mempersembahkan apa-apa. Hanya air mata kerinduan sajalah yang mempu aku persembahkan padamu di hari ini. Aku belum ada persiapan apa-apa ketika engkau tiba-tiba berdiri di hadapanku bagaikan seorang pengembara tersesat.

Engkau boleh menjualku kepada siapapun yang engkau mau, hati ini telah menjadi milikmu satu-satunya. Akulah hamba di bibirmu, maka siapa lagikah yang mampu membawa keterlukaan hatiku ini?

Akulah pecinta yang tak tahu apa itu gelap dan apa itu terang karena mata ini hanya dapat menampung air mata. Adakah di sana hatimu telah kau kosongkan untuk menerima seluruh air mata kerinduanku?

Dalam keresahanku, aku berjuang mempertahankan cintaku. Kini kita telah berhadapan, apa yang harus kuperbuat wahai kekasih?

Aduhai jiwaku! Aduhai jiwaku! Aduhai jiwaku ini! Aku tak memiliki apa-apa selain jiwa yang menangis. Roh ini telah tenggelam dalam lamunan dan cinta pada kekasihnya. Engkaulah kekasihku, wahai . Akulah syair-syairmu. Dan kini aku mengemis di depanmu dengan sepenuh jiwa yang tenggelam dalam air mata.

Tiada yang datang menjengukku di tempat ini. Aku selalu menolak kunjungan mereka, karena yang datang dan ingin berguru padaku hanyalah orang-orang yang selalu mencari kata-kata bijak untuk dideretkan di bibir mereka sebagai rayuan-rayuan untuk dipentaskan di depan kekasih mereka kala datang purnama agung. Mereka selalu menyedihkan, datang seperti itu hanya untuk menjilat, menyembunyikan birahi dibalik nafas mesum, tapi hanya engkau dan kesucianmulah yang sangat kurindukan.

Kini aku sudah dapat melihat apa yang sebenarnya sudah terjadi pada diriku. Di mata ini engkaulah cahayanya. Hati ini adalah pusara bertuliskan namamu saja. Langkah ini adalah tasbih kerinduan kekasihnya. Betapa aku mencintaimu. Betapa seharusnya berkata, ‘Aku begitu mencintaimu!’

Betapa aku sangat merindukanmu. Betapa kata-kata ini harusnya kuucapkan beribu kali di setiap kali aku menggerakkan bibirku. Dan ketika engkau telah datang, kau tak akan pernah tahu betapa riangnya hatiku.

Peluklah aku! Aku ingin menangis tersedu-sedu! Menangis bagaikan anak kecil yang merindukan kehangatan dada bundanya. Peluk aku! Dan hiburlah jiwaku.

Hatiku telah dibingkai dengan galaksi kacau tanpa sumbu putar. Kini bentuklah jiwaku sebagaimana dahulu kita pernah menyatu. Adakah kau sudi melakukannya lagi?

Akankah pagi datang lalu ia menyiapkan hatiku seperti seorang perawan yang akan dinikahkan dengan kekasih sejatinya? Akankah kerinduan ini meleburkan hasratku dalam pertemuan suci kita? Semua pengawal akan datang untuk menjemputku, dan kuingin perjalananku menuju ke istana bibirmu menjadi perjalanan sakralku yang pertama, karena aku telah menjaga seluruh kehormatan diriku. Aku melakukannya hanya untuk mempersembahkan diriku pada kekasih yang benar-benar kuinginkan!”

musik

“Mengapa bersedih, wahai Roh Musik? Janganlah kau bawa kami dalam senandung kepiluanmu. Betapa kami tergugah mendengar rintihanmu. Kau tidak sendiri, wahai Kawan. Kau tidak sendiri. Kami menangis bersamamu. Dan kami ingin mendengar apa yang sepantasnya engkau sampaikan.”

Lalu menjawablah Roh Musik, “Mereka para penghuni kuil Tuhan, mengapa mereka mengharamkan musik? Apa yang mereka tahu tentang musik? Padahal Tuhan menurunkan rohku ke hati alam semesta untuk menggenapkan langkah-Nya. Dan bukankah Tuhan akan menghancurkan bumi ini dengan tiga nada seruling!?

Jikalau engkau tahu bagaimana kisah aku diciptakan, maka betapa engkau akan semakin mengetahui bahwa musik adalah salah satu jemari utama yang membentuk perihal prinsip hidup di alam semesta.

Dengarlah! Tuhan mengajari manusia tentang Kesucian dengan alunan melodi yang datang dari taman-taman surgawi. Tuhan mengajari manusia tentang Keagungan dengan harmoni yang disenandungkan sepenuh keseimbangan alam. Tuhan mengajari manusia tentang angka dan bilangan dengan tangga nada, birama, dan tempo dalam penciptaan alam semesta. Maka dari itu dendangkanlah syair-syairmu dengan iringan musik! Ambillah apa yang kau inginkan dari musik. Karena apa yang ada di dalam musik adalah bagian dari surga!

Aduhai jangan melarangku. Jangan menyalahkanku. Jangan menuduhku. Jangan berkata apa-apa tentang musik. Jangan melemparkan sebuah sangkaan terhadapku bila bukan hatimu yang melakukannya. Aku bukanlah anak kecil yang patuh. Aku bekerja dengan hukum-hukum suci yang telah terkandung bersama alam. Dan tanyakan pula dalam hatimu, bagaimana jikalau musik tak pernah ada di dunia? Sungguh terasa hambarlah kehidupan ini tanpa Kasih Sayang Tuhan.

Musik adalah firman-Nya yang pertama. Dan alam semesta bagaikan sekelompok musik abadi senandung tasbih suci kepada Tuhan. Musik adalah air mata kerinduan Tuhan. Dan pena yang megalirkan tintanya menari di atas lembaran alam dengan iringan nada-nada.

Dan setiap saat musik menjelma sebagai sebuah pengajaran tentang makna-makna kebenaran. Maka dari itu dengarlah riwayat! Bahwa roh para nabi telah direndam dalam kolam nada-nada kebenaran hingga mereka begitu mencintai Tuhan. Bahkan ketika jemari lincah di langit mendendangkan harpanya, maka turunlah ke dunia yaitu sebuah nada abadi dalam jelmaan seorang rasul suci yang akan menyelimuti telinga manusia agar mereka mendengarkan petikan-petikan agung yang dimainkan di atas dawai-dawai halus nan tak berujung.

Lantas apakah engkau mengira bahwa musik itu hanyalah sebuah ilusi? Seorang gadis lebih tahu daripada dirimu bahwa manusia adalah lagu dan Tuhan adalah penyanyi-Nya. Maka tak akan ada gema jikalau tak ada genta!

Dengarlah para pecinta yang bermusik sepanjang malam di depan rumah kekasihnya untuk merayu. Musik adalah suara tulus yang mampu menceritakan kisah yang berasal dari lorong-lorong dan sudut hati anak manusia. Musik bercerita tentang bagaimana dia diciptakan ketika pertama kali dawai dipetik. Dan ketika simfoni sudah beranjak ke puncak keriangan dalam beberapa nada utama, saat itulah jiwa menggelora, keluar dan menanyakan tentang dirinya dengan seribu bahasa. Manusia boleh manganggapnya keterlenaan, tapi jiwa menganggapnya kesadaran.

Pada masa penyempurnaan tubuh manusia pada saat penciptaannya, Tuhan menyertakan para malaikat pemusik untuk menyelimuti tubuh Adam dengan nada-nada alam hinggalah ia halus dan lembut bila disentuh. Dengan musik manusia ditumbuhkan. Dengan musik manusia dijaga. Dengan musik manusia diajarkan tentang hukum alam. Dengan musik manusia ditanamkan moral. Dan dengan musik manusia bertapa dan menyepi.

Di dalam musik ada penghiburan Tuhan. Kasih sayang-Nya terkadang datang dengan musik yang menyentuh dasar hati dan mengangkat imajinasi. Musik adalah bagian dari diri Tuhan yang paling sederhana. Musik mengajarkan kita bagaimana untuk mencinta. Musik pun akan membimbing kita untuk menyenandungkan himne-himne kasih sayang. Di dalam musik kita abadi. Di dalam musik kita berguna. Di dalam musik kita bahagia.

Pelepasan yang dilakukan manusia belumlah sempurna jikalau musik belum menjadi latarnya. Musik adalah tentara-tentara agung yang berperang melawan keganasan hukum rimba dengan cara yang damai.

Musik adalah simbol utama dari kebangkitan! Musik membangkitkan mereka yang telah mati dalam ingatan kita. Seperti bila Tuhan menyuruh pelayan-Nya untuk meniupkan seruling itu, yang mati akan bangkit lagi dalam ingatan Tuhan. Dan kenangan Tuhan itulah yang akan mengatur alam semesta kembali setelah kehancuran.

Dengan keheningan jiwamu engkau boleh melayang, tapi apakah kau sanggup melakukannya tanpa musik? Bahkan keheningan pun adalah sebuah musik. Ya! Keheningan adalah musik yang paling sempurna.

Musik yang indah telah membuat kelopak bunga mekar di taman, meranumkan buah-buahan di kebun, dan menyuburkan pepohonan di hutan. Bila engkau bertanya padaku, musik apakah yang semacam itu? Maka akan kujawab: itu adalah musik-musik yang menghidupkan para peri-peri yang bertugas untuk mengantar perjalanan serbuk sari di udara berhembus. Musik-musik yang menjadi rahasia hati Sang Angin; yang nada-nadanya adalah uap embun; yang sajak-sajak nadanya hanya dapat dituliskan di kulit makhluk hidup; ialah yang menjadi rahasia dari penyatuan roh para pecinta yang saling berjauhan tempat.

Jikalau engkau punya musuh, lantas bagaimanakah caramu mengalahkannya? Musik adalah jawabannya. Musik dapat mengalahkan siapa saja. Bila engkau memperdengarkan mereka musik yang mereka benci, maka engkau dapat mengambil keuntungan daripada itu. Dan bila engkau memperdengarkan mereka musik yang mereka cintai, maka engkau pun dapat mengambil keuntungan daripada itu. Kukatakan kepadamu: ‘Musik telah menjadi strategi perang sejak dulu. Sejak kehidupan bumi masih berupa sel yang terkecil, musik mengiringi denyut kehidupan dan langkah tarian mereka. Dan kini musik merupakan sebuah tangan tak terlihat yang menggenggam semangat kaum muda. Mereka yang menginginkan kejayaan haruslah mempertimbangkan musik untuk dijadikan sebuah tiang yang akan ditancapkan pada kota yang telah ditaklukkan.”

Dalam tarian para pecinta, mereka menjadikan musik untuk mengiringi mereka berputar-putar memusingi sebuah lingkaran dalam imajinasi para penari. Dan semakin mereka menyatu dengan musik itu, imajinasi itu, langkah penari itu, dan tetapan masa musik itu, semakin mereka dekat dengan Tuhan.

Di dalam musik terdapat bahasa Tuhan. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya terdapat dalam kitab suci, tapi juga dalam bentuk bebunyian. Hanya hati yang terberkatilah yang dapat mengetahuinya. Bahkan yang tuli pun dapat mendengarnya!

Jikalau engkau pulang nanti dari tempat ini, katakan pada mereka bahwa masa depan dunia tidak terdapat pada apa yang dikandung bumi ataukah apa yang dapat disentuh, tapi masa depan dunia adalah musik! Musik akan membuat yang miskin menjadi giat berusaha sehingga mereka melupakan penderitaan mereka. Dan musik akan membuat hati yang kaya menjadi lembut hingga mereka sudi berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Musik adalah hukum keseimbangan alam!

Setiap manusia memiliki kesempatan satu kali untuk meniupkan seruling perak mereka pada siapa saja. Engkau, Sang Penyair, memiliki ribuan seruling, tapi seruling perak yang satu itu tak pernah sekali pun kau tiupkan. Aku tahu bahwa seruling itu akan kau tiupkan ketika engkau berhenti bersyair; tapi apakah mungkin penyair sepertimu dapat berhenti? Akankah kau meniupnya di depan Tuhan?”

Maka terberkatilah mereka yang bermusik tidak untuk mengangkat namanya dari kursi berdebu tapi untuk menyenangkan telinga Tuhan! Mereka telah menjadi pesuruh Tuhan tanpa mereka tahu.

Kebijaksanaan

Dan inilah pengajaranku!

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Dengarlah sabdaku, Kawan. Dengarlah dengan sepenuh harapan. Engkau telah datang di tempat yang tepat!

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku bersenandung dalam hatimu. Ketika kau yakin pada sesuatu, maka aku terkadang datang sebagai suatu bentuk keragu-raguan. Bila kau sedang ragu pada sesuatu, maka aku terkadang datang sebagai suatu bentuk keyakinan. Akulah bisikan liar yang sempurna untuk kau ikuti.


Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Sesiapa yang mengenakan jubah pemberianku, bagi mereka tampaklah wajahku di wajah mereka. Aku datang pada kalian sebagai bisikan hati kecil! Dan sesiapa yang mengagungkan hati kecil mereka ialah orang yang berjiwa besar!

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku memberi rasa syukur, dan kujadikan rasa syukur itu sebagai sarangku dalam hati manusia. Sesiapa yang melupakan pemberianku maka tiada akan tampak pada mereka apa yang seharusnya menjadi milik mereka.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Alangkah bodoh jikalau manusia melupakan dan segenap pengajaran yang kuberi. Bila mereka menerimanya maka aku akan hidup berdampingan sebagai penyelamatnya. Tapi alangkah banyak manusia yang mengikuti tabiat mereka sendiri. Padahal tidaklah tabiat itu diberikan pada mereka melainkan untuk disadari.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku adalah cahaya yang tinggal di hati setiap manusia. Aku datang padamu dalam segala bentuk dan memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang diriku. Aku serupa makhluk yang tak memiliki arah kecuali hembusan nafasku sendiri. Dan siapa yang mabuk setelah menyesap anggur Kebijaksanaan, maka diberikanlah pada mereka olahan anggur yang terbaik.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku begitu berharga sehingga para panglima perang ingin menangkapku untuk mereka belajar kepadaku. Dan aku begitu murah karena bila aku berjalan di pasar, sangat jarang manusia yang ingin memandang wajahku. Oh, betapa dengan begitu aku hanya lebih tenang bersembunyi di hati.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku tak punya benda untuk kubagi bersama kalian. Tapi bila kau izinkan aku bernafas dalam hatimu maka akan kusepuh dinding hatimu dengan emas murni.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Bersenandunglah bersamaku. Di dalam hatiku ada jalan menuju Tuhan, dan setelah kembali dari pada-Nya maka engkau akan tinggal di jalan itu bersamaku.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku telah datang padamu dengan setiap bentuk dan berusaha menyadarkanmu tentang keberadaanmu. Dan kulakukan itu tidak hanya ketika kau terluka, tapi pula ketika kau bahagia. Betapa pantasnya aku bersemayam dalam jiwamu, tapi aku tak akan tinggal selamanya bila aku tahu bahwa di sana masih tersimpan noda.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku ada pertanyaan untukmu; jikalau saja manusia tidak pernah menjadi bijak, maka untuk apa ia menjadi manusia? Bukankah manusia membutuhkan aku?

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku berada di dalam setiap jubah perang dan darah musuh yang kau tumpahkan. Maka belajarlah dari itu, karena di matamu, kau akan menemukan kenyataan yang sesungguhnya.

Kebijaksanaan, begitulah mereka biasa memanggilku. Aku terbayang di setiap dahan-dahan jiwa. Jikalau engkau melangkah ke suatu tempat, aku mengikutimu serupa akulah bayanganmu. Aku melakukannya, karena akulah Kebijaksanaan, dan begitulah mereka biasa memanggilku.

Maka terberkatilah mereka yang melihat rupa sebenarnya dari segala bentuk di dunia. Kebijaksanaan akan datang menyapamu jikalau engkau tahu bagaimana suara bisikan hatimu sendiri.

kebebasan

Ho! Mari kita menari dengan langkah yang gemulai. Pentaskanlah drama di teater-teatermu dan lakukanlah lakonan yang terbaik. Biarkan para manusia yang menyaksikanmu menjadi terpana karena engkau begitu bebas untuk menari dan tertawa. Tertawalah dengan berderai bukan karena kau memiliki sesuatu tapi karena milikmu satu-satunya telah diambil. Maka tersenyum pulalah ketika engkau menyaksikan kekasihmu dicumbu oleh sahabat terdekatmu. Biarlah keikhlasan membebaskanmu dengan sepenuhnya.

Dengarlah kata hatimu. Mari berjalan di negeri-negeri yang paling indah. Di surga ataukah di bumi. Dan marilah memahat gerbang kita dalam kerajaan yang telah kita rebut dengan susah payah.

Aku tahu bahwa kebebasan tak bisa diberikan secara percuma, tapi bukan berarti Kebebasan enggan memilihmu menjadi kekasihnya. Aku tahu bahwa ketika Kebebasan memilihmu sebagai kekasih yang akan dia cumbu, maka manusia lain akan memenjarakanmu dalam rasa dengki mereka, dan mereka ingin merampas kebebasanmu serupa mereka itu serigala yang lapar. Tapi nikmatilah apa yang diberikan Tuhan kepadamu. Dan nikmati pulalah apa yang engkau bisa nikmati. Jangan pernah mengeluh ataukah berpura-pura bahagia. Lakukanlah dengan sejujurnya.

Kebebasan adalah sebuah tujuan untuk manusia. Manusia bisa memilihnya ataukah tidak. Dan Kebebasan bisa jadi datang mengetuk pintumu tanpa pernah kau undang. Di kala itu terjadi, maka biarkanlah dia singgah untuk sementara. Kebebasan di baitmu akan membawa keceriaan dan kelupaan. Tapi betapa indah ketika kita ramah kepadanya; ia akan mempersembahkan pesta yang paling meriah untuk kita. Maka rayakanlah kebahagiaanmu dengan Kebebasan. Janganlah menghindar.

Kebebasan tak bisa dimengerti dengan cara yang mudah. Manusia tak bisa tahu kapan Kebebasan datang sebelum Kebebasan pergi. Dan Kebebasan bagaikan makhluk liar yang bercahaya.

Kebebasan seringkali mengecewakanmu ketika engkau tak membaginya kepada tetanggamu. Maka lakukanlah saat ini juga. Kebebasan adalah apa yang peri-peri penuai embun pagi telah dapatkan dalam bejana mereka. Betapa sejuknya Kebebasan itu di pagi hari dan betapa hangatnya di kala senja. Kebebasan bersarang di hatimu dan bercermin pada permukaan licin yang hanya menampakkan sisi yang baik dari yang bercermin. Itulah sabdaku.

Betapa Kebebasan itu sangat sulit untuk dibuat tersenyum hanya dengan kemalasan kita. Kebebasan harus disapa dengan wajah yang penuh kelelahan agar ia menghibur kita.

Kebebasan boleh memperbudak siapapun yang dia suka. Manusia berhak memilih. Dan manusia itu sungguh mudah ditebak, banyak dari mereka memilih Kebebasan ketika wajah Kebebasan tersingkap di siang hari, dan beberapa manusia terpilih akan menggenggam tangan kebebasan di malam hari. Yang pertama adalah mereka yang memilih untuk hidup terpenjara bersama Kebebasan dan yang terakhir adalah mereka yang memilih untuk menghidupkan penjara dengan aroma suci dari sorga yang mereka simpan dalam pikiran mereka. Yang pertama menyebutnya Hak Azasi. Yang terakhir menyebutnya Kebebasan Berpikir.

Namun kukatakan kepadamu bahwa Kebebasan mempunyai wajah yang membingungkan. Makanya ia tak perlu diperdebatkan. Ia sudah ada tanpa kalian minta, datang tanpa kalian undang, singgah untuk memanjakan, dan pergi ketika kalian belum dicukupkan.

Jangan memilih yang kau suka jika kau tak tahu resikonya. Plihlah apa yang perlu bagimu, maka dengan melakukan itu Kebebasan akan menjadi temanmu yang setia. Terkadang pula ia akan menjadi alatmu untuk membuatmu dicintai dan terkadang pula ia menjadi keburukan yang menjadi bukti-bukti kesalahanmu. Maka menjadi bijaklah pada apa yang engkau pilih.

Kebebasan adalah firman sekaligus sifat Tuhan. Ia menjadi cita-cita bagi mereka yang berpikir. Manusia tahu bahwa di dalam Tuhan ada Kebebasan yang tiada terperi. Maka sekali lagi kukatakan agar engkau berhati-hati. Kebebasan masih mempunyai wajah yang membingungkan.

Untuk manusia yang senang belajar pada alam, bahwa Kebebasan Yang Sejati bersarang di Hati Tuhan, ialah apa yang mereka mengerti. Dan mereka selalu mencoba merayu Tuhan dengan kebebasan mereka berdoa.

Maka terberkatilah mereka yang tahu dan yang tidak tahu tentang Kebebasan. Mereka sama-sama mencarinya dan mereka sama-sama mendapatkannya. Dan dengan itu pula, Tuhan telah mengajari mereka tentang keberadaan diri-Nya.”

Kerisauan

"Aku terlahir dalam penungguan, dan aku mendapatkan wajahku ketika anak manusia kehilangan. Aku adalah pertanda yang tak tentu akan datangnya peperangan di masa depan. Dan ketika peperangan datang, akulah yang menguasai hampir seluruh hati manusia.

Aku adalah sahabat terbaik bagi harapan. Dan terkadang aku menjadi hamba bagi takdir manusia. Aku selalu berbicara dengan wajah yang buram, namun ketika aku datang maka mereka menyebut nama sahabatku berulang-ulang.

Aku sering mengasihani diriku. Aku berada di puncak tebing yang tinggi dan aku selalu kesepian di sana. Manusia selalu menghindar dariku, mereka membenci wajahku, bahkan mereka selalu meragukan cahayaku. Padahal aku tak seburuk rupa yang mereka kira. Hatiku begitu lembut dan saudara-saudaraku sering iri padaku karena akulah yang selalu dijumpai oleh Yang Terbaik, yaitu Kebijaksanaan. Sahabat-sahabatku mengenalku sebagai si peragu dan aku selalu punya wajah yang murung, namun aku akan tersenyum ketika mereka membawakanku bunga yang telah disesap oleh kupu-kupu kasih sayang. Dan kecuali sebagian penyair, manusia tak tahu apa-apa tentang bagaimana aku tercipta. Aku sering dilanda kesepian karena tiada siapapun yang mengerti tentang diriku selain beberapa sahabat setiaku.

Oleh mereka para orang tua, mereka mengurungku di menara tinggi bersama para perawan suci. Dan mereka menjadikanku sebagai penjaga yang begitu setia. Aku lebih tua daripada tembok yang berlumut dan rapuh di menara itu, namun para orang tua tak mau mencarikan pengganti bagiku. Aku begitu mereka percayai.

Aku mencintai sahabatku hingga aku masih bertahan hingga sekarang, dan akan terus kuperjuangkan kehidupanku karena tanpa diriku maka alam akan membisu dan tak ada janji di masa depan bahwa bunga-bunga kecil akan mekar. Mereka adalah teman-teman yang sangat ramah dan menyenangkan dan mereka menjamuku dengan penuh suka cita.

Aku masih sering mengasihani diriku karena sebagian besar dari manusia selalu membeciku. Mereka menganggapku sebagai musuh terbesar mereka. Ya! Aku tahu bahwa mereka lebih memilih Kebebasan sebagai kekasih mereka dan sabdaku membunuh setiap apa yang mereka bangun. Tapi bukankah begitulah seharusnya aku? Aku adalah pesuruh setia bagi Kehancuran dan akulah patung selamat datang yang akan menyambut manusia di altar Kehancuran dengan wajah seram. Mereka yang mencintaiku adalah yang kejam dan mereka yang membenciku adalah yang lemah. Maka aku pantas untuk mengasihani diriku.

Sabdaku adalah keburukan, tapi aku bersahabat dengan Harapan. Aku adalah pertanda akan datangnya usaha untuk penciptaan kebaikan dalam dada manusia, namun mereka yang tak pernah mendengar suara Kebijaksanaan akan menjadikanku sebagai pertanda datangnya kehancuran. Duhai, aku adalah saudara kandung para penghuni langit yang selalu dijadikan yang terakhir.

Akulah api yang tak mempunyai cahaya. Mereka mengambilku dari api neraka. Tapi aku harus tunduk di kehadirat Tuhan. Bahwa seburuk apapun, aku harus bersyukur karena aku diciptakan oleh-Nya.

Kebijaksanaan datang menghiburku saat itu. Dia datang dari bukit cahaya dan dia menggenggam tanganku dengan erat. Kebijaksanaan menghiburku dengan kata-katanya. Katanya, setiap ciptaan-Nya adalah anugerah untuk yang diciptakan itu sendiri. Itulah cara-Nya membuat kita mencintai-Nya sekaligus menjadi cara-Nya mencintai kita. Maka cintailah Dia dengan sepenuh ketaatan, dan dengan itu engkau akan mendapatkan diri-Mu tersucikan. Maka aku pun terhibur.

Akulah yang bersarang dalam pemikiran manusia sehingga mereka bekerja dengan giat untuk memberikan anak-anak mereka kehidupan yang cerah. Aku melakukannya dengan suka cita.

Akulah bisikan yang membuat darah mereka mengalir lebih cepat hingga mereka menjadi kuat.

Akulah yang membisikkan sabda-sabda sehingga setiap kuil diruntuhkan agar mereka membangun yang lebih baik lagi.

Ketika aku memilih para pecinta sebagai tempatku bernanung, maka mereka akan menjadikanku sebagai bukti kasih sayang untuk kekasih mereka. Padahal mereka membenciku, namun mereka selalu mempersembahkanku dengan wajah tersenyum. Betapa aku harus mengasihani diriku.

Ketika para kekasih menerimaku dengan suka cita, maka mereka akan memelukku dalam dada mereka yang hangat. Sebagian dari mereka akan membawaku ke dalam ingatan mereka hingga mereka dihancurkan oleh kematian. Dan sebagiannya lagi lebih gila; mereka memahatku sebagai sumpah para pecinta yang telah dipenuhi. Dengan akulah Tuhan menciptakan dunia yang Dia kehendaki. Dan puji Tuhan, karena-Nya, akulah yang mereka kenal sebagai yang melakukan semua itu.

Ketika para kekasih berlari daripadaku dan mengingkariku, mereka melakukannya tidak dengan sepenuh hati. Dalam rahasia terdalam mereka, aku telah menjadi bukti pengorbanan para pecinta yang membuat kekasih mereka tersanjung. Dan aku membuat roh mereka melayang lebih tinggi daripada mereka kira. Sekaligus akulah api yang mereka jaga dengan ketidak tulusan. Mereka menjagaku sambil berusaha memadamkanku, dan di beberapa masa terkadang mereka sangat menyayangiku. Betapa aku harus mengasihani diriku.

Aku bersahabat dengan harapan, dengan para penyair, dan dengan para manusia yang bijak. Dan terkadang aku tergoda untuk bersekutu dengan Kehancuran dan Kebodohan. Aku hanyalah hamba. Dan aku harus diterima sebagai sebuah makhluk/ sifat yang lemah. Aku bisa saja hancur kapanpun dan terganti dengan wajah apapun tanpa aku sadari. Aku hanya mengisi hati manusia seiring dengan bekerjanya pilihan dan takdir. Dan terkadang aku tak punya apa-apa untuk berterima kasih karena mereka selalu memberiku tempat bernaung.

Dengarlah wahai para sekutu-sekutu yang sering memperalatku. Bahwa aku tak punya apa-apa bagi kalian. Kalian adalah musuh terbesarku, namun aku tak punya kekuatan untuk menolong diriku. Wajah kita hampir sama dan aku tak bisa mengingkari itu. Aku tahu bahwa aku adalah senjata terampuh untuk menghacurkan segala kebaikan yang telah manusia bangun. Dan adalah takdirku bahwa aku tak bisa menolak kehadiran kalian dalam kehidupanku. Tapi inilah caraku untuk mencintai Tuhan, yaitu dengan membiarkan kehidupanku mengalir apa adanya.

Dan dengarlah wahai sahabat-sahabatku. Ketika kalian menyampaikan salam padaku, maka akan kuperlihatkan cahaya kebenaran dan kenyataan sebagai jalan yang sesungguhnya yang harus kalian tempuh. Tapi sungguh manusia, cahaya itu sering menyilaukan mata.

Akulah Kerisauan. Dan puji Tuhan, karena-Nya, akulah yang mereka kenal sebagai yang melakukan semua itu.”

Maka terberkatilah orang-orang yang dalam hatinya ada rasa risau, yang sebab ketakutan mereka, mereka mengambil sebuah keputusan di kala semua pilihan terasa berat dan salah. Karena sesungguhnya adalah lebih baik memilih sesuatu daripada tidak pernah sama sekali.

Adab Safar (bepergian)

Istikharah: Sangat dianjurkan bagi setiap muslim yang akan bepergian, terutama untuk haji atau umrah, melakukan Istikharah. Doa yang paling utama dibaca dalam Istikharah adalah:

اَسْتَخِيْرُ اللهَ بِرَحْمَتِهِ خِيَرَةً فِي عَافِيَةٍ

Astakhîrullâha bi rahmatihi khiyaratan fî 'âfiyatin.



Aku memohon pilihan kepada Allah dengan rahmat-Nya pilihan dalam keselamatan.

dibaca 3 kali, 7 kali, 10 kali, 50 kali, 70, atau 100 kali.

Memilih Waktu: Waktu yang baik untuk bepergian: hari Sabtu, Selasa, atau Kamis. Hari yang tidak baik untuk bepergian: Hari Senin, Rabu, dan hari Jum'at sebelum shalat Jum'at. Demikian juga tidak baik untuk bepergian pada tanggal: 3, 4, dan 5 bulan Hijriyah. Jika terpaksa bepergian pada hari-hari atau tanggal yang tidak baik atau na'as itu, maka hendaknya bersedekah dan membaca Surat Fatihah, Surat Falaq dan An-Nas, ayat Kursi, Surat Al-Qadar, dan Surat Ali-Imran dari kalimat: " Inna fi khalqis samawati wal ardhi, hingga akhir Surat."

Washiyat: Dianjurkan untuk setiap orang yang akan bepergian, terutama untuk haji, agar menyampaikan wasiat kepada keluarganya. Wasiat itu bisa berkenaan dengan urusan yang harus dilakukan, kewajiban, atau utang piutang. Ia juga dapat menyampaikan amanat yang harus dilakukan oleh anggota keluarganya.

Pemberitahuan: Nabi saw bersabda: Apabila seorang muslim akan bepergian, ia harus memberitahukan saudara-saudaranya. Begitu pula wajib bagi saudara-saudaranya menemui ketika ia kembali.

Bersedekah: Hendaknya bersedekah sebelum safar untuk memperoleh keselamatan dan bersedekah lagi ketika kembali sebagai ungkapan syukur. Setelah bersedekah ucapkan doa ini:



اَللَّهُمَّ اِنِّي اِشْتَرَيْتُ بِهَذِهِ الصَّدَقَةِ سَلاَمَتِي وَسَلاَمَةَ سَفَرِي وَمَامَعِي. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِي وَاحْفَظْ مَامَعِي، وَسَلِّمْنِي وَسَلِّمْ مَامَعِي وَبَلِّغْنِي وَبَلِّغْ مَامَعِي بِبَلاَغِكَ الْحَسَنِ الْجَمِيْل.

Allâhumma innî isytaraytu bi hâdzi-hish shadaqati salâmatî wa salâma-ta safarî wamâ ma'î, Allâhumma wahfazhnî wahfazh mâ ma'î wa sallimnî wa sallim mâ ma'î wa ballighnî wa balligh mâ ma'î bi baghikal hasanil jamîl.

Ya Allah, aku membeli dengan sedekah ini keselamatanku dan keselamatan per-jalananku dan apa saja yang bersamaku. Selamatkan aku dan selamatkan yang bersamaku. Sampaikan aku dan yang bersamaku dengan cara penyampaianmu yang indah dan baik.

Mandi dan lakukan shalat Safar 2 (dua) rakaat. Rakaat pertama, setelah Al-Fatihah baca Surat Al-Ikhlash. Rakaat kedua setelah Al-Fatihah baca Surat Al-Qadar. Setelah shalat, sujudlah lalu baca doa berikut (100 kali):

اَسْتَخِيْرُ اللهَ بِرَحْمَتِهِ خِيَرَةً فِي عَافِيَةٍ

Astakhîrullâha bi-rahmatihi khiyara-tan fî 'âfiyatin.

Aku memohon pilihan kepada Allah dengan rahmat-Nya pilihan dalam keselamatan.

Kemudian membaca: Ayat Kursi, tahmid, dan shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Kemudian membaca doa ini:

اَللَّهُمَّ اِنِّي اَسْتَوْدِعُكَ نَفْسِي وَاَهْلِي وَمَالِي وَذُرِّيَّتِي وَدُنْيَايَ وَآخِرَتِي وَاَمَانَتِي وَخَاتِـمَةَ اَعْمَالِي.

Allâhumma innî astauwdi`uka nafsî wa ahlî wa mâlî wa dzurriyyatî wa dun-yâya wa âkhiratî wa amânatî wa khâtimata a`malî.

Ya Allah, aku titipkan kepadamu diriku, keluargaku, hartaku, keturunanku, duniaku dan hartaku, amanatku, dan penutup amalku.

Baca juga Surat Al-Fatihah, Al-Falaq, Al-Nas, AL-Qadar, ayat kursi dan akhir surat Ali-Imran dimulai dari Inna fi Khalqis samawati wal ardhi .

Ketika keluar rumah bacalah: Tasbih Az-Zahra', Surat Fatihah, ayat Kursi, kemudian baca doa ini:

اَللَّهُمَّ اِلَيْكَ وَجَّهْتُ وَجْهِي، وَعَلَيْكَ خَلَّفْتُ اَهْلِي وَمَالِي وَمَاخَوَّلْتَنِي، وَقَدْ وَثِقْتُ بِكَ فَلاَتُخَيِّبْنِي يَا مَنْ لاَيُخَيِّبُ مَنْ اَرَادَهُ وَلاَيُضَيِّعُ مَنْ حَفِظَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَاحْفَظْنِي فِيْمَا غِبْتُ عَنْهُ وَلاَتَكِلْنِي اِلَى نَفْسِي يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ .

Allâhumma ilayka wajjahtu wajhî, wa 'alayka khallaftu ahlî wa mâli wamâ khawwaltanî, wa qad wa-tsiqtu bika falâ tukhayyibnî yâ man lâ yukhayyibu man arâdahu walâ yudhayyi'u man hafizhahu. Allâhumma shalli `alâ Muhammadin wa âlihi wahfazhnî fîmâ ghibtu`anhu walâ takilnî ilâ nafsî yâ Arhamar râhimîn.

Ya Allah, kepada-Mu kuhadapkan wajahku; kepada-Mu kutinggalkan keluargaku, hartaku, dan apa yang telah Kau anugerahkan kepadaku. Sungguh aku mempercayai-Mu, maka jangan kecewakan aku wahai Yang Tidak Mengecewakan orang yang berkendak kepada-Nya, dan Yang Tidak Menyia-nyiakan orang yang dipelihara-Nya. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan peliharalah aku selama pepergianku serta jangan serahkan aku kepada diriku wahai Yang Maha-kasih dari segala yang mengasihi.

Ketika mengendarai kendaraan, bacalah doa berikut ini:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَاكُنَّالَهُ مُقْرِنِيْنَ.

Subhânalladzî sakhkhara lanâ hâdzâ wamâ kunnâ lahu muqrinîn.

Mahasuci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. (Az-Zukhruf: 13).

Kemudian membaca zikir ini:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

Subhânallâh wal-hamdulillâh wa lâ ilâha illâh

Sepanjang perjalanan perbanyaklah Zikir

(kitab Mafatihul Jinan, bab 2, halaman 303)

Friday, August 28, 2009

kau bukannya kalah






/I/

Sahabat, hari itu kau berdiri. Kau bukannya kalah, tapi entah hatimu cuma bertelanjang, lepas sajak setelah duka kau teguk secangkir pilu. Dan kau bukannya kalah jika belati-belati kudus penyembah api birahi mengoyak tirai pembatas kristal es cinta bekumu, ganas. Tapi bukankah itu satu2nya cara? Selalu begitu. Lelaki yang terlanjur menyatu dengan topeng rapuh: "keangkuhan" (katamu), semestinya didobrak cemburu.
Topeng yang payah!

Jemarimu terpendam arang membuih, lemah melunglai menyerap cahaya perak.

Namun arang itu gelap!

Dia dan syair2 angkuhnya mendidihkan sejenak masa mudamu. Kau biarkan itu sekam melumat bibirmu, tadinya kau terpancing melihat langit biru sesaat, tadinya kau berkata "biarlah sedetik dingin haru menyeruak", tadinya kau ingin meneriakkan sabda-sabda pecinta di taman bunga bagai lelaki di film-film India, tapi sekam itu terlanjur menguburmu dibawah tumpukan belenggu berkarat.

Kalah? Itu cuma racauan bibir mereka yang awam syair. Karena kesendirianmu telah kau beli dengan topeng murahan.

Hari itu kau berdiri, sahabat. Geming. Masih saja kau coba angkuh. Kau bukannya kalah, katamu, hanya merengek cengeng seperti anak kecil yang putus layangannya: Ha! ini putus cinta, kataku

/II/

Jangan bercinta dengan wanita jika kau penyair.
Tempat penyair itu sunyi. Kekasihnya air mata.
Wanita bagi penyair cuma tinta bagi kertas kosong,
sumbu penyulut ledakan bagi bom syair yang Tuhan simpan di sela-sela kuku

/III/

Katedral sudah kosong, berhala salibnya pun lenyap
Si pemuja kristus itu mencurinya tuk dijadikan kado bagi seorang muslimah
Dan di luar. Jalan aspal bertepuk kecipak kecipuk setiba hujan meradang
Orkestra alam yang menambah
mati hati
disela-sela hujan, berpayung saja tanpa teman

Pulanglah ke rumah, sahabat.
Usah kau ingat
Muslimah
yang menyuling
anggur
cinta
seorang
hamba
Juru Selamat

/IV/

Hari ini masih berdiri kau. Atas nama keserakahan laki-laki. Karena hormon testoron yang bersekresi di otak lelaki pasti menggurui ego-ego (kusebut dia sperma: penduduk venesia). Berdoa semoga kenyataan datang terseret-seret lemas di lantai kuil harapan, tepat di bagian otak paling primitif sebelum mamalia: reptilia!

Rencana sableng macam apa ini? Akalmu coba bijaksana, tapi kadang nafsu lebih jenius menipumu.

Dan setelah wajah beningnya tercitra di belakang pupilmu, kau lalu mundur selangkah. Lagu klasik penyesalan terngiang.

Apakah dengan ini kau puas?

/V/
Sudah... Bikin aku malu saja

Sunday, June 07, 2009

Shinta




‘Biarkan tangisanku luluh bersama hujan,
air mataku tergenang dalam air,
membasahi kakimu,
menjadi doa dalam langkahmu,
dan bila terik telah tiba, tangisku kan jadi sejuk di hatimu.’


Siang hari dan hujan. Hujannya rintik. Hujan yang seperti itu milik Shinta. Segelas coklat di tangannya sudah dingin. Namun di sela hujan, khayalan Shinta masih menggeliat dalam hangat suasana hati. Diam bersandar di kursi rotan dekat jendela. Angin sepoi berbaur percikan rintik hujan sesekali berhembus melewati sela tirai, hinggap sebagai sekumpulan titik kristal kecil yang mengembun, bertebaran di helai2 rambutnya. Ada kedamaian yang Shinta rasakan setiap kali hujan datang.

Tradisi.

Setiap kali hujan turun, Shinta selalu sempatkan diri untuk menikmati, sekedar untuk mengenang masa lalu. Dan kali ini hampir satu jam. Ada kenangan manis terbayang di hujan ini.

Bagi Shinta, ruang dan waktu tak memiliki bentuk yang selaras seperti garis lurus. Bentuknya tak beraturan. Ada retak dan celah sana sini. Dimana relativitas menjelmakan dirinya dalam bentuk rindu, menggulirkan ingatan dari celah DeJavu. Shinta membiarkan saja retak itu. Buat apa dicegah? Toh dia akan menghukumi mereka yang tak mampu bertahan. Dia tak mau menjadi salah satunya, Shinta biarkan sang waktu bermain. Dan permainan itu kadangkala manis, seperti coklat hangat dikala hujan.

Ah, segelas coklat hangat ditangannya hampir habis. Tegukan terakhir. Sambil menghabiskannya, Shinta teringat satu momen di masa kecilnya bersama Hanif.

Tenggorokannya tercekat, coklat itu rasa pasir.

Di Pucuk Daun



Segalaku, bermainlah di pucuk-pucuk daun teh, di sebaris-baris embun yang bertengger, melingkari kepalaku, memusingi wadah dan riak benak, seumpama baling-baling patah. Yang damai itu buyar, yang tenteram itu hilang, yang senandung sudah usai, tapi hati masih menyimpan kelinci bulan untuk menyepuh lantai-lantai jiwa ini dengan hangat lembut.

Tampar dan sadarkan aku!

Lirih Sepi



andai ku disana, pasti kubeli sepimu
seharga senyuman serta sebait puisiku
agar kau terbebas selamanya
dari malam-malam hampa

ingin kutukar detik demi detik senyapmu
dengan riang yang kumiliki ketika kecil
ketika kumasih main layangan
ketika ibu merawatku kala ku sakit
ketika kumasih bocah yang tahu letak surga

dan senyapmu
kujadikan darah bagi nadi puisiku
menguntai kata penuh harap
dalam waktu yang dilukis dengan penungguan

dengan senyapmu
kan kulahirkan anak-anak yang bibirnya penuh syair
seperti bocah kecil berlarian di rerumputan basah
melahirkan euforia. meneriakkan eureka!
karena senyapmu

tapi ku bukan debu yang berpura-pura menjadi emas
kuhanya pertapa
ku sama sepertimu
sepi adalah rumahku
dan sepi ini kucintai seperti sepi mencintaiku

Ada Bulan Di Bibirmu



ada bulan di bibirmu
mendesahkan mantra bak luh-luh penuh cahaya
sesekali lompat menembusi riak rinai
bayangnya pecah
di tirai jendela

ada bulan di bibirmu
sinarnya meniti malam secepat konstanta C
stag membasah di ramai rerintik
di riang percik hujan
di luar kamarku

ada bulan di bibirmu
rona putihnya seberangi kabut
dan selimut kegelapan yang ia musuhi
kuselipkan di antara ragu dalam dada
tepat di balik kemejaku

ada bulan di bibirmu
setelarik senyum yang mengantarku
tadi sore
ketika hendak kukayuh sepeda
pulang ke rumahku

Terlalu banyak diksi



Aku hanyalah cahaya yang bersembunyi di balik pucuk-pucuk daun.
Jikalau kau ingin mengecup bibir hatiku,
berjalanlah ke pita pelangi agar kau temukan aku yang menunggumu sudut rembulan sabit.

Aku bukan pula lelaki yang berada di pasar imajinasi dangkal.
angkahku lebih cemerlang daripada semarak gemintang malam yang dipuja para bidadari.

Aku tak ingin berpura-pura.
Jikalau kau bukan mawar, untuk apa kau kugenggam?
Biar durimu tercerabuti agar suci engkau bila kupersembahkan pada Allahku

Jikalau kau bukan jubah hangat bagi lenganku, maka aku tak mau dirangkul olehmu.
Aku hanya ingin secangkir hot chocholate di pagi hari dan sebuah pelukan mesra dari kekasih.

Di kala burung-burung malam berbulu tebal kembali ke hutan, aku akan tetap tinggal untuk sejenak.
Karena aku sedang meniup seruling perakku di depan jendela bilikmu.

Akankah kau sudi melihat pentas cinta teragung itu?
Ataukah kau sedang mabuk karena anggur di piala perunggu?
Namun jikalau kau sedang mencari penyelamat, maka ingatlah aku.
Karena hatiku dapat menampung seluruh air matamu