Monday, September 14, 2009

Aku Dia Anu

Seorang laki-laki yang terlalu sinting di kampungku yang bernama Aku, suatu hari pergi ke acara tujuhbelasan. Dengan memakai pakaian terbaiknya, kaos Snoopy dan celana berwarna kuning “genjreng-genjreng”, tentu saja Aku menyita perhatian khalayak di pusat keramaian itu.

Sementara orang-orang yang ikut lomba tujuhbelasan beraksi, Aku menyorakinya, berteriak-teriak, bahkan memaki-maki.

Ketika melihat lomba panjat pinang, Aku berteiak, “Huuu…. Nggak ekstrim! Kalau mau ekspresikan kekuatan, jangan panjat pinang, tapi panjat pedang, dong!” Lalu melihat lomba makan kerupuk, berteriak lagi, “Orang merdeka, kok makannya kerupuk? Digantung lagi! Yang ngadain acara pasti imperialis! Menjajah moral secara halus! Imperialis makhluk halus!”

Begitulah sampai akhirnya setelah satu jam berteriak seperti orang kerasukan roh jahat, Aku capek juga. Ketika Aku bersandar kelelahan di sebuah pohon yang teduh, seorang gadis menghampirinya.

“Dari tadi kamu berteriak. Nggak malu, ya?”

Mendengar suara seorang gadis yang di telinganya terdengar begitu sinis dan angkuh, Aku hanya diam. Dipandanginya gadis cantik yang mengenakan kostum panitia itu, wajahnya tampak berang, tapi Aku hanya acuh.

“Kalau hanya ingin mengganggu jalannya acara ini lebih baik kamu pulang saja.”

Aku tiba-tiba berdiri. Marah.

“Beginikah tanah merdeka? Orang-orang diusir karena menguraikan suatu kebenaran!? Oh Indonesia… nasibmu…”

“Maksudku bukan begitu,” ujar gadis itu tetap dalam nada sinisnya. “Sebaiknya kamu jangan merusak jalannya acara ini. Karena ulah kamu, banyak peserta jadi pergi. Panitia sudah pusing-pusing dan hancur-hancuran untuk menyelenggarakan acara, jadi tolong, plis, jangan mengganggu!”

Dasar sinting. Walaupun ditegur baik-baik, Aku tetap saja tidak bisa memperlihatkan kelakuan yang wajar. Segera Aku mempertontonkan kesintingannya.

“Nama saya Aku, seorang eksistensialis individualis anarkis, seorang jenius, filosof, politikus, jago debat, sastrawan berbakat, seniman handal, kritikus macam-macam hal, dan seorang yang paling waras di kampung ini. Pendek kata, saya seorang yang multi talented.”

“Trusss..?”

“Tadi saya heran melihat realitas yang terjadi barusan. Bagi saya, acara tadi kurang idealis. Yang buat acara ini siapa? Kamu, ya?”

“Iya. Saya dan rekan-rekan sesama panitia.”

“Nama kamu siapa?” tanya Aku sambil mengulurkan tangannya.

“Dia.”

“Siapa? Diah?”

“Dia tanpa H.”

“Lengkapnya?”

“Dia Doang binti Waras.”

“Aneh.”

“Kenapa?”

“Nama saya Aku, kalau kamu Dia. Aneh sekali. Kebetulan yang menyenangkan. Aku suka. Untuk merayakan perkenalan ini, bagaimana kalau saya mengajak kamu jalan-jalan. Nanti ditraktir. Setuju tidak?”

Dia, gadis itu, hanya diam. Dikeluarkannya kotak kosmetik dari dalam bagnya, bercermin, dimasukkan kembali, lalu menghela nafas.

“Buat apa saya ikut dengan kamu jalan-jalan?”

“Nggak terlalu penting, sih. Biasa saja. Saya cuma ingin agar kamu bisa pacaran dan akhirnya menikah dengan saya. Soalnya kamu cantik sekali.”

Dia terkejut. Tak menyangka Aku akan ngomong seperti itu.

“Dasar sinting! Norak! Kerbau butut sialan! Pintar-pintar gila! Ternyata benar yang barusan dibilang teman saya.” Kini marahnya mau meledak seperti gunung vulkanik yang terbangun.

“Teman kamu bilang apa?”

“Mereka minta agar saya jangan mendekati kamu. Tapi saya ngotot, soalnya dari tadi kuping saya panas gara-gara ocehan kamu. Mereka bilang kalau kamu ini sinting, tidak punya malu!”

“Tidak peduli bilang apa mereka! Saya memang sudah tidak punya malu lagi. Bagi saya, malu, gengsi, atau apa pun itu, hanyalah milik orang-orang feodalis. Sedangkan prinsip saya: Aku benci kata-kata yang tidak diucapkan! Makanya saya tidak usah malu mengucapkan yang seharusnya diucapkan dan apa yang saya inginkan.”

“Sudah-sudah. Lebih baik kamu diam atau sekalian pulang saja! Saya masih sibuk. Banyak kerjaan. Pusing ngomong sama orang gila, bisa bikin gila juga.”

Kemudian Dia meninggalkan Aku. Sepeninggal Dia, penyakit epilepsi Aku kumat lagi. Aku kejang-kejang selama dua jam hingga adzan maghrib berkumandang. Tapi tak ada yang peduli. Dia pun juga tak peduli.

Setelah dilanda kejang-kejang selama dua jam, Aku langsung pulang ke rumahnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Anu, tetangganya, memanggil Aku.

“Hai Aku. Sini dulu!”

“Ada apa, Anu?”

“Dengar-dengar, tadi kamu kumat lagi, ya? Penyakit begitu kok kambuh di depan umum. Apa kamu nggak punya malu?”

“Malu? Buat apa malu? Divonis apa saja, dituduh apa saja, dicap apa saja, saya nggak usah malu, karena memang tidak punya lagi. Dan memangnya malu itu berguna bagi saya?”

“Dasar kamu sinting! Bodoh! Kalau kamu punya malu, image kamu bisa beda. Terus penyakit epilepsi kamu tidak akan kambuh lagi bila kamu sudah punya malu.”

“Wah, bagus juga, tuh. Kalau begitu saya bisa dapat malu darimana?”
Anu, tetangganya Aku, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya berupa batu kerikil kecil berwarna hitam dan sebuah buku saku yang sudah lusuh.

“Ini malu beserta buku panduannya,” kata Anu sambil menyerahkan batu kerikil kecil “malu” itu beserta sebuah buku kepada Aku. “Ambillah!”
Aku mengambilnya, lalu bersorak kegirangan.

“Hore! Sekarang Aku sudah punya malu.”

* * *

Tiga bulan kemudian Aku sudah berubah total akibat “malu” pemberian Anu. Sekarang sifat Aku tidak lagi sinting seperti dulu, akan tetapi sangat waras dan angkuh seperti Dia. Setiap orang yang diajaknya berbicara akan kejang-kejang epilepsi selama dua jam.

Tak ada yang tahu siapa yang bersalah hingga semua orang kejang-kejang di cerita ini.

Apakah penulisnya yang bersalah?

Aku?

Dia?

Anu?

Atau mungkin Kau?

No comments: