Sunday, September 13, 2009

Chitra

O Pohon Chitra. Roh suci yang bernaung di bawahmu adalah seorang wanita yang dahulunya selalu menjaga kesuciannya. Semasa hidupnya dia tinggal di sebuah tempat di mana manusia tak bisa melepaskan kekejamannya dan kebengisannya. Dan wanita itu bisa mempertahankan kesucian, harga diri, dan kelemah lembutannya tanpa terpengaruh dari kehidupan dunia. Baginya dunia bukanlah belenggu, akan tetapi sebuah titian. Dengan keyakinan dia hidup, dan dengan keyakinan itu pulalah dia wafat.

Dan kini dia adalah roh yang pertama yang harus dijumpai setiap pengunjung taman roh suci ini. Dia dengan matanya yang sederhana, dan wajahnya yang penuh kasih sayang, menyambut Sang Penyair dan muridnya. Hanya dengan menyentuh auranya, Sang Penyair dan muridnya menjadi tentram dan merasa betah berada di bawah Pohon Chitra. Mulailah salamnya, maka dengarlah! Karena ini adalah yang pertama kalinya.

“Salam bagi kalian. Salam. Dan turunlah dengan pita pelangi yang tanpa ragu setelah kalian berkelana sepenuh kelelahan. Salam bagi kalian aku sampaikan.

Salam untuk sarwa sekalian alam.

Akulah Chitra dan begitulah mereka biasa memanggilku. Akulah yang pertama dan akulah satu-satunya wanita yang duduk di bawah pepohonan di taman para roh suci. Apa yang kalian bawa padaku hari ini, yaitu wajah-wajah kalian adalah sebuah anugerah senyuman di wajahku.

Ketika itu aku dipilih oleh Tuhan untuk menjadi dewi yang menyuburkan dunia. Inilah pertanda kasih sayang Tuhan. Aku terima takdirku dengan wajah bahagia dan tanpa pura-pura. Namun sungguh manusia begitu berlebihan, mereka menyembahku dan melupakan siapa yang menciptakanku. Namun aku tak punya kekuatan untuk menyakiti hatiku sendiri. Harus kukatakan pada diriku untuk menerima dan belajar tentang makna. Kodrat itu harus dijalani. Betapa Tuhan selalu mempunyai rencana yang tersembunyi.

Sebagai Dewi Kesuburan aku melakukan pekerjaanku dengan riang. Aku selalu memilih jubah para gadis desa yang sederhana. Dan yang datang dari kota akan memilihnya, aku sering tak berada di sana bila prosesi itu terjadi. Aku selalu berlari dari hati yang menyimpan niat buruk dan diselubungkan. Buhul kerianganlah sebagai tali yang selalu aku pegang, maka tak ada lagi yang lebih baik bagiku selain mengikuti permainan angin.

Aku menjadi pertanda ketika akan datang kebahagiaan para petani. Akulah Dewi Kesuburan, tapi panggil dzatku yang pernah bernama Citra sebagai Chitra. Sungguh aku lebih menghargai apa yang lebih baik bagiku.

Kesederhanaan, ialah langkahku yang abadi. Aku gemerlap dalam lingkupan gaunku. Tapi hatiku selalu tetap menudukkan kepala. Aku mengingat dan menyanyikan kerinduan Tuhan pada diri-Nya. Dan setiap kali aku melakukannya, aku semakin tahu bahwa aku yang menjadi busur panah dalam penciptaan.

Aku bukanlah seruling yang membuat dunia ini merona, tetapi aku nadanya. Aku mencintai kejadian ini. Dan apa yang berlaku padaku, ialah selalunya aku terima dengan rendah hati.

Bila aku merayakan takdirku yang ganda, maka aku tersenyumlah, walau sesekali aku ingin menangiskan sesuatu. Betapa aku sering membutakan mata manusia. Mereka terkadang memandangku sepenuh pesona namun melupakan tentang apa yang terbaik. Seharusnya mereka mencintai yang sepantasnya. Hanya Tuhanlah yang pantas dicinta, bukan aku.

Akulah Chitra, dan aku hanyalah salah satu bukti kasih sayang-Nya.

Maka aku biarkan dunia ini germelap dalam langkahku. Hatiku selalu belajar menerima, dan begitulah aku bersama roh kalian di muka bumi. Aku berjalan dengan kerinduan pada sifat-sifat ilahi. Akulah Chitra. Dan kalian adalah kawan.

Hum…

Akulah Chitra dan tak berbicara hanya dengan lidahku saja. Aku memberikan pemahaman dengan masa laluku. Dan semasa hidupku, akulah titisan imajinasi alam tentang kesuburan. Mereka memanggilku sebagai sang dewi padi, dan terkadang mereka memujaku hingga saat kini. Padahal aku hanyalah malaikat yang tak perlu diberikan persembahan apapun. Tak harus ada sesaji untukku. Biarkanlah Allah yang mendapatkan semua itu.

Akulah Chitra. Aku bernama Citra. Akulah kemayaan yang menyelimuti kekosongan alam. Aku yang menjadikan dunia tak berubah sepi,. Akulah Chitra, dan aku menyebut namaku sepenuh rendah hati.

Tapi semua hal pernah diberikan kesempatan untuk memilih, tak terkecuali gunung-gunung ataupun bintang yang berada di langit terjauh. Dan aku pernah meminta agar aku terlahir di dunia kembali sebagai sesosok manusia. Dan Puji Tuhan Yang Maha Mengabulkan Doa.

Hum…

Wahai Sang Penyair, tataplah mataku! Apa engkau tahu... akulah dzat yang pernah hidup dalam diri seorang gadis muda yang bernama Citra. Tataplah aku. Aku adalah dia di kehidupan terdahulu.

Tataplah mataku, dan bahagiah, wahai sahabatku! Betapa engkau sangat mengenalku. Aku datang padamu di setiap bentuk. Aku menyanyikan kerinduan pada hatimu akan adanya wujud yang lebih tinggi pada alam ini. Aku benar-benar telah melakukannya.

Tataplah mataku dan tersenyumlah! Kalian tak mungkin bisa melihatku dengan tatapan birahi, ataupun amarah. Aku terpilih karena aku begitu ramah dengan sepenuh hatiku kepada manusia. Mereka yang mengenalku tak punya hasrat memiliki aku dengan kasar. Dengan auraku, mereka datang padaku sebagaimana aku datang pada mereka. Aku tak punya dendam, tak punya benci, tak punya dengki, tak punya iri, tidak… aku tak pantas memiliki itu. Terlebih setelah hatiku dibasuh oleh para malaikat semasa aku masih di rahim bunda.

Tataplah mataku, wahai sahabatku. Betapa kita selalu bersama. Aku pernah terlahir di dunia ini sebagai seorang gadis yang rapuh. Muridmu dan dirimu pernah mengenalku. Mereka memilihku untuk terlahir ke dunia, dan aku rela menerima itu. Aku menjalani kehidupan manusia dengan sepantasnya. Dan Puji Tuhan kita selalu bersahabat bahkan ketika aku pergi.

Tataplah mataku dan cerialah! Ketika masih gadis, aku menjadi ibu dalam mimpimu dan aku engkau rindukan. Tanpaku, kekasaran dunia akan kau terima sebagai takdirmu. Denganku engkau melawan keburukan dan bertahan di bawah terpaan angin kering yang melanda lahan-lahanmu.

Aku masih tetap sama yang seperti engkau kenal. Aku telah belajar dari kalian dan pada alam ketika aku masih menjadi gadis yang rapuh, bahwa persahabatan, itulah wajahku nanti yang seperti terlihat kini. Maka kuucapkan Salam bagi kalian. karena kalian adalah yang berharga bagiku.

Kalian adalah sahabat-sahabat yang aku rindukan. Engkau pun merindukanku. Aku selalu bertekad untuk tak pernah berubah ketika aku masih menjadi gadis yang belia. Tapi kita terpisah, dan aku merasa sangat kehilangan. Dan di antara hutan aku menemukan diriku yang beranjak dewasa. Aku memendam segenap kehidupan. Betapa manusia perlu mengalami perubahan, maka maafkanlah aku. Sungguh manusia diciptakan dalam kefanaan. Tapi aku tetap memiliki hati yang merindukan kalian yang kusimpan dalam kitab keabadianku. Maka tataplah aku sebagaimana engkau selalu ingin menatapku.

Langkahku susah diterjemahkan dengan syair. Tapi senyumku, ialah puisi yang nyata untuk mendamaikan di matamu. Maka tataplah aku sebagai sahabatmu yang selalu bercakap sepenuh kelembutan.

Aku menjadi keriangan-keriangan dalam batinmu. Aku membisikkan doa-doa dalam ketidaktahuanmu. Sungguh aku hati suci yang begitu tersembunyi. Aku gadis biasa yang bisa bertahan dengan semua itu. Maka terima kasih karena hanya kalianlah yang pernah membuat kemanusiaanku begitu aku syukuri ketika aku sadar bahwa aku hidup di dunia yang kejam.

Betapa aku senang dan bahagia ketika engkau menangis untukku. Akupun ikut menangis bila itu dengan bahagia. Ya! Lalu aku menangis dibalik ketersembunyianku. Dan serupa gadis yang menjaga rasa malu, ketika engkau memberitahuku yang sebenarnya berlaku, aku berlari dengan langkah tersipu. Aku Chitra, dan betapa riangnya aku.

Aku serupa anggur yang meranum di tepi kolam madu. Dan setiap kemabukanku kusaring dengan lentik bulu mataku hinggalah engkau menyesap air suci yang membuatmu menatapku mataku tanpa birahi. Akulah Chitra, aku yang melakukan itu. dan serupa inilah takdirku.

Akulah hentakan yang merasuk dalam lembut. Aku tak pernah menyakiti hatimu. Sungguh aku selalu dibela dengan bungkusan kemanusiaanku. Terlebih seorang sahabat adalah seorang yang bisa menerima yang lainnya bagaimanapun keadaannya. Bukankah kita saling mengajari tentang hal itu?

Kelemahanku adalah sumber kekuatan bagi mereka yang telah merasa kering karena ketidakmampuan mereka sendiri. Akulah kesejukan yang selalu kalian rindukan. Aku begitu lemah, lembut, penuh kasih sayang, ramah, dan selalu sopan setiap kali menghadapi dunia. Aku melakukannya tanpa ragu karena aku telah membiasakan diriku dengan bayanganku sendiri yang apa adanya. Setiap kali aku memandang cermin aku akan bersyukur. Dan dengan itulah caraku agar aku tak gentar membawa kelemahan hatiku.

Dan sekali lagi tataplah mataku! Sebagai roh yang merindukan setiap bentuk kehidupan terdahuluku, aku merindukan semuanya dan aku merindukan kefanaan kita dahulu. Ingatkah engkau pada saat kita menjadi sahabat dan engkau jatuh cinta padaku? Wahai, Penyair. Betapa kodratku ialah untuk menjadi yang terkasih dan tersayang untuk kalian di duniamu. Engkau tak mungkin bisa melihatku sebagai mangsa jika kau serigala. Jika cinta adalah nafsu, engkau tak pantas menerima bayanganku. Akulah Chitra, dan takdirku sebagai manusia adalah menjadi perumpamaan kasih sayang-Nya.

Hum…

Setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, dan aku mengetahuinya lebih awal. Betapa beruntungnya diriku. Tapi itu bukanlah kebetulan; itulah yang kalian akan dapatkan bila kalian berjalan dengan sepantasnya di dunia ini.”

Dan itulah cara roh Chitra menceritakan dirinya.

Lalu Sang Penyair, tahulah dia, bahwa dia tak perlu menundukkan kepalanya di hadapan wanita yang kini sedang berada di depannya. Dan ketika dia melihat Roh Chitra yang duduk bersila di depannya, maka dilihatnyalah wajahnya yang terasa tak asing lagi.


“Puji Tuhan. Betapa Citra selalu seperti itu.”

Maka terberkatilah dia yang duduk dengan jubah kesederhanaan. Memujilah dirimu akan sifat-sifat semacam itu, karena dengan ketiadaan yang menyelimutinya, sesungguhnya di hatinya ada kekayaan yang sejati.

No comments: