Sunday, September 13, 2009

Kitab kupu-kupu

Tersebutlah nama Tuhan! Maha Pengasih dan pula Maha Penyayang.

Inilah kitab. Dan kupu-kupu itu, ialah pertanda tentang Cinta betapa memabukkan.

Ceritakanlah padanya kisahmu agar dunia belajar! Maka inilah kisah agar dunia belajar! Beritakanlah padanya pesanmu agar dunia mengenal! Maka inilah kisah agar dunia mengenal!

Inilah doa-doa sang pemilik sayap terindah. Bijak dengan sebijak-bijaknya. Mabuk dengan semabuk-mabuknya. Dan cinta yang sepenuhnya. Maka inilah doa-doanya.

Bacalah! Inilah kisah kupu-kupu.

Tersebutlah sebuah kota yang tak jauh dari hati manusia. Sebuah kota yang dihuni oleh seluruh harapan suci manusia. Setiap harapan itu menjelma menjadi seekor kupu-kupu. Dan sudah ada banyak kupu-kupu yang terlupakan oleh pemiliknya yang hidup di kota itu.

Seekor kupu-kupu yang tetap disenandungkan baginya doa-doa dan mimpi-mmipi oleh seorang pemiliknya, kini telah bangkit. Di antara seluruh kupu-kupu, hanya ialah yang berbahagia. Maka dari itu dengarlah kisahnya.

"Aku memuja nyala api dan nyala api itu kucintai sebagaimana kupu-kupu yang lain mencintainya. Tapi doa-doa yang disenandungkan untukku bagaikan rentak asmara dari dawai-dawai sitar yang diiringi oleh tabuhan gendang kerinduan. Aku memuja nyala api dengan senandungku. Dan aku sedih karena itu adalah senandung dari kekasih yang tak melakukan apa-apa untuk yang dicintainya.

Aku akan tetap bernyanyi dengan laguku. Akulah pemilik jemari lincah yang memainkan musik-musik yang mendamaikan hati manusia. Dan aku selalu membagi sayap-sayap harapanku dengan rela kepada manusia. Mengapa harus aku membaginya dengan nyala api?

Aku terbuai arus dan terbawa kesedihan yang amat dalam. Aku merindukan nyala api itu, namun aku ragu terbakar. Aku masih dapat merasakan panasnya.

Jiwaku adalah gelora dan gelombang. Setiap nafasku hanyalah berkisah tentang api yang kucintai. Dan semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku teringat padanya. Api itu telah mengambil hatiku dan membakar seluruh cintanya hingga asmaraku berkobar.

Inilah kitab asmaraku. Kitab seekor kupu-kupu yang mencintai nyala api.”

Bila saat itu tiba, keresahan memuncak dalam hati sang kupu-kupu, dan tak terhankan pulalah kerinduannya. Maka masuklah kupu-kupu itu di kuil api. Dan disana dia melihat nyala terang itu.

Berkata Kupu-kupu, “Aku melihatmu berdiri di pintu emas. Kau bawakanku cahaya terang dalam sumbu angkasa. Kau terangi langkahku menuju titik kecerahan. Dan akupun menjadi legenda”

Berkata Api, “Cahayaku! Kau adalah cahaya kasihku. Membantu aku untuk bangkit. Dan berlari mendekap jiwamu. Agar kau lebur larut sebagai cahaya.”

Berkata Kupu-kupu, “Kukatakan tidak! Aku adalah gelap dan selalu gelap! Mengapa kau menawarkan cahaya sedang takdirku telah berhenti? Mereka yang berkata bahwa kegelapan bisa menyembunyikan apapun kecuali cahaya telah berbohong! Kegelapan hanya menyelimuti dirinya sendiri! Langkah Tuhan dalam hatiku begitu kelam. Mengapa kasih harus menjadi bagian dari dalam diriku? Aku menjadi legenda karena aku satu-satunya kupu-kupu yang tak menerima cahaya!”

Berkata Api, “Katakan saja kau malu mengakuinya. Tahu apa kau tentang dirimu yang kalut!?”

Berkata Kupu-kupu, “Kau tahu aku dan gelap adalah satu. Dan aku hanya tahu bahwa aku sedang kalut. Mungkin bibir ini tak punya alasan untuk itu. Tapi aku terlalu muda untuk kesepian dan terlalu cantik untuk menangis. Maka kemanakah aku harus berlari?”

Berkata Api, “Akulah cahaya keabadian yang menyala tanpa sumbu kesadaran. Kau telah memilih! Apa yang kau cari? Rindu? Kasih? Cinta? Atau diriku? Hei… lihatlah! Dalam kerinduanmu ada nyalaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Seperti kebohongan saja. Apa gunanya memilih tanpa kesadaran? Aku hanya ingin tetap seperti dulu. Aku tetap ingin menjadi diriku yang hanya satu. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku nyata. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku bersayap. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku ada. Tapi hanya cermin yang dapat kupercaya.”

Berkata Api, “Cermin itu adalah gambaran jiwamu yang sedang menatap keabadiannya. Keabadian yang membawamu lahir untuk dunia untuk cinta dan untuk mencipta dan untuk sadar bahwa ada Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Mengapa seseorang harus mengenal Aku? Mengapa seseorang harus mencari Aku? Apa itu Aku? Siapa itu Aku? Mengapa Aku harus mencari jawaban atas semua itu?”

Berkata Api, “Dengan terangku aku menyala. Dengan kepak sayapmu engkau terbang. Begitulah Aku bekerja. Aku adalah jati dirimu. Aku adalah kesadaranmu. Aku adalah kekasihmu, Aku adalah matimu. Aku adalah akhirmu. Aku adalah kebijakanmu. Aku adalah cahayamu. Dan kukatakan dengan jelas, Aku adalah api yang menyala di hatimu. Laksana sebuah mitos tentang bagaimana kau melihatku, bila mimpi dan suasana itu telah hilang dalam semangatmu, maka musnahlah Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Jangan ucapkan kata-kata terakhir itu. Baiklah aku mengaku, aku tetap mencintamu. Namun aku akan menjadi gila karena cinta ini. Jika aku adalah segalanya, mengapa aku mencipta sekaligus dicipta? Inikah kebingungan? Inikah dunia? Aku berkata: betapa gila dunia ini dan betapa gila diriku yang memilih hidup di dunia ini!? Katakan padaku, mengapa Aku memilih karena ada Engkau?”

Berkata Api, “Apa yang kau sebut gila? Cukup sadari saja bahwa kau adalah percikan cahayaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Hari ini aku telah menemuimu. Dan di dalam dirimu tak ada sesuatu kecuali dirimu. Walau aku tahu bahwa aku pun adalah aroma sucimu.”

Berkata Api, “Apa yang aku sebut gila? Bukankah alam semesta berjalan seperti dengan kegilaanku? Kau adalah nyanyianku, satu dengan penyanyinya. Maka tak ada lagu tanpa penyanyi.”

Berkata Kupu-kupu, “Apakah ini berarti jika lonceng tanpa gema maka ia bukan lonceng? Betapa naïf? Mengapa api harus bernyanyi? Mengapa kepak sayap harus menjadi lagu? Ah, mungkin aku tak akan pernah tahu. Bahkan telingaku pun tak sanggup mendengarnya.”

Berkata Api, “Memangnya kenapa jika ini begitu naif? Memangnya kenapa jika ini terdengar sombong? Aku tahu bahwa kau punya kerendahan hati. Tapi buat apa menghindar dari kenyataan? Jika lagu adalah lagu, maka api adalah api. Sedang kau memiliki api itu dalam hatimu. Haruskah aku berkata, ‘Hei! Kembalikan milikku!?’”

Berkata Kupu-kupu, “Tapi…”

Berkata Api, “Tetapi apa? Aku punya hak untuk bernyanyi. Aku ingin memiliki diriku sendiri. Aku ingin mengalami diriku yang berada di luar diriku. Apakah itu salah? Aku adalah api, dan aku ingin api itu. Dengarkan sajalah apa yang diinginkan hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Bila aku mendengarkan, maka ada doa yang terjalin. Bila aku melihat, maka ada cahayamu di sana. Bila aku beranjak, maka hatiku akan berkobar. Sejujurnya hati ini adalah apimu. Maka tataplah apimu sendiri!”

Berkata Api, “Maka kembalilah! Aku sudah risau menunggu. Peluklah aku dan sentuh diriku dengan asmaramu. Akan kuperlihatkan kenyataan yang sebenarnya. Pulanglah!”

Berkata Kupu-kupu, “Aku malu untuk pulang! Aku adalah kekasih yang begitu merindu namun tak punya apa2 untuk menyejukkan sayapku dalam api. Dan begitulah aku melihatmu. Engkau adalah pembawa cahaya terang dari sumbu angkasa, berdiri di pintu emas, namun aku tetap bersembunyi dalam kegelapan diriku. Jangan bertanya padaku tentang kekalutan, aku adalah kekalutan itu sendiri. Jangan pula mengajakku untuk pulang! Aku telah terbiasa dengan kesendirianku.”

Berkata Api, “Lalu kapan lagi? Kapan kau percepat hari itu? Hari di mana cinta terbukti. Namun jika kau masih ingin terbang, terbanglah! Dan jika kau masih ragu, berpikirlah! Aku akan tetap menyala untuk sayap-sayap rapuh yang rela membakar dirinya dalam apiku.”

Berkata Kupu-kupu, “Maka dengar saja syairku; syairku adalah kerinduanmu. Dengar saja seruling perakku; senandungnya adalah keheningan. Dan lihat saja wajahku di pantulan rembulan di danau yang tenang; akan rembulan selalu kujadikan cermin untuk melihatmu yang menyala di kuil penungguan. Maukah? Siapkah? Jika tidak lebih baik cabik-cabik aku sekarang!”

Berkata Api, “Akulah yang memberimu hati itu hingga kau yang memilih. Bukan aku yang di sini. Dan hati itu akan menyala dan bersamamu, hanya saja tanpa melukai dirimu.”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu cabik-cabik saja aku! Aku bahkan tak punya sayap yang dapat mengepak lagi tanpa datang kehendak dari dalam hatiku!”

Berkata Api, “Betapa sombongnya engkau memiliki sayap itu. Tahukah kau terkadang tangan punya pikiran sendiri hingga ia memukul bukan dengan kehendakmu? Dan tahukah kau bahwa terkadang kaki punya kehendak sendiri hingga ia berjalan bukan dengan kehendakmu pula? Bila hatimu telah dikuasai oleh api, maka kau hanya mampu merasakan nikmatnya terbakar!”

Berkata Kupu-kupu, “Kekasih macam apa kau? Engkau membunuhku dengan hatiku sendiri!”

Berkata Api, “Kekasih macam aku! Aku membunuhmu dengan kemilau api yang ada di hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Andai saja kau berkata tidak, alangkah lebih baik bagiku! Ingin sekali kukatakan padamu kata-kata ini: "Terserah!!!! Bahkan bila kau tak ingin ada namamu dalam syairku! Telah enggan aku hilang hasrat melihat geloramu! Tapi bila kau butuh manfaatkan aku, manfaatkanlah! Karena aku masih kepakan ajaib itu. Namun engkau membunuhku. Kekasih macam apa kau!? Salahkanlah dirimu!”

Berkata Api, “Aku membunuhmu dengan cinta. Jika bukan aku siapa lagi yang harus?”

Berkata Kupu-kupu, “Salahkan saja dirimu! Aku terlalu rapuh untuk dibunuh dengan cinta. Namun itulah yang selalu kuinginkan. Tak ada yang lebih kuinginkan selain itu. Engkau rela melakukannya. Dan keikhlasanmulah yang membuatku malu menghampirimu!”

Berkata Api, “Bukankah itu suatu nikmat; terlahir sebagai benih yang membara dalam rupa seekor kupu-kupu?”

Berkata Kupu-kupu, “Tidakkah kau kasihan padaku? Dulu aku karang dan tak goyah. Aku menyembunyikan kemarahan bagaikan kubah salju yang menatap perahu amarah berlabuh di laut ketika senja kala mentarinya sedang sebesar koin. Semua selaras dalam bahasa alam yang kaku. Semua menyapaku. Seperti angin ini. Dan aku bisa bertahan. Mengapa kau datang membawa cahaya terang itu di depan mataku? Hey… tiba-tiba hatiku merindukanmu. Salahkan saja dirimu!”

Berkata Api, “Mengapa aku harus menyalahkan diriku? Sedangkan akulah angin itu! Akulah yang menghembuskan nafasku. Mengapa aku harus menyalahkan diriku yang menyelimuti setiap dirimu? Bukankah yang kau inginkan itu tetap satu?”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu tunggu apa lagi? Bercintalah denganku sekarang juga! Cumbu aku dan pergunakan seribu kilauanmu untuk merayuku. Karena aku tak memiliki diriku sendiri. Tak seorangpun pernah kecuali dirimu.”

Berkata Api, “Bukankah aku sudah mencumbu jiwamu sejak kau menjadi laguku?

Berkata Kupu-kupu, “Tapi aku inginkan lebih! Aku ingin terbakar dengan api. Bukan dengan lagu.”

Berkata Api, “Jika begitu berhentilah bersyair dan jangan berpikir apa-apa. Bila pikiranmu masih menancap dalam dirimu, maka bukan hatimu yang akan merasakan nyalaku. Biarkanlah cintamu datang dari hati lalu naik menjalar di seluruh tubuhmu. Biarkan kau merasakan apa sebenarnya sentuhan itu. Lalu bakarlah dirimu dengan apiku dengan masuk ke dalamku. Jika kupu-kupu benar-benar mencintai nyala api, maka dia harus membakar sayapnya! Lakukanlah segera!

1 comment:

Arcaban said...

keren banget tulisannya... saya terkesan... applouse...