Monday, September 13, 2010

Test blogging dgn e63

haha. Akhirnya gw bisa ngeblog dgn hape test aja deh. Posting via e63, aplikasi ucweb

Wednesday, February 17, 2010

Musyawarah Burung I

Musyawarah Burung yang ditulis pada tahun 1184-1187 oleh penyair besar Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum Sufi.

Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1120 Masehi dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Omar Khayyam). Tarikh wafatnya tak diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1230, sehingga ia hidup sampai usia seratus sepuluh tahun.


I. MADAH DOA


PUJI bagi Khalik Yang Kudus, yang telah menempatkan arasy-Nya di atas perairan, dan yang telah menjadikan segala makhluk di bumi. Kepada langit telah Ia berikan kekuasaan dan kepada bumi kepatuhan; kepada langit telah Ia berikan gerak dan kepada bumi ketenangan yang tetap.

Ia tinggikan angkasa di atas bumi bagai tenda tanpa tiang-tiang penyangga. Dalam enam masa Ia ciptakan ketujuh kaukab dan dengan dua huruf Ia ciptakan kesembilan kubah langit.

Pada mulanya Ia sepuh bintang-bintang dengan emas, hingga di rnalam hari langit dapat bermain triktrak.

Dengan berbagai sifat Ia anugerahi jaringan tubuh, dan telah ditaruh-Nya debu pada ekor burung jiwa.

Lautan Ia jadikan cair sebagai tanda pengabdian, dan puncak-puncak gunung pun bertudung salju karena takut kepada-Nya.

Ia keringkan dasar laut, dan dan batu-batunya Ia hasilkan manikam-manikam mirah, dan dari darah-Nya, wangi kesturi.

Kepada gunung-gunung telah Ia berikan puncak-puncak sebagai golok dan lembah-lembah sebagai ikat pinggang; maka gunung-gunung itu pun menegakkan kepala dengan bangga.

Kadang Ia jadikan kelompok-kelompok mawar timbul dari wajah api.

Kadang Ia bentangkan titian melintang wajah perairan.

Dibuat-Nya seekor nyamuk menggigit Nimrod, musuh-Nya, yang menderita empat ratus tahun karenanya.

Dalam kearifan-Nya Ia menyuruh laba-laba membuat sarang untuk melindungi yang tertinggi di antara manusia.

Ditekan-Nya pinggang semut hingga semut itu serupa sehelai rambut dan dijadikan-Nya semut itu kawan bagi Sulaiman.

Diberi-Nya semut itu jubah hitam orang Habsyi dan baju sutera tak bertenun yang layak bagi burung merak.

Ketika dilihat-Nya permadani alam cacat, disulami-Nya hingga serasi.

Ia lumuri pedang dengan warna bunga tulip; dan dari uap Ia buat persemaian bagi bunga-bunga seroja.

Ia basahi gumpalan-gumpalan tanah dengan darah agar Ia dapat mengambil daripadanya batu-batu berharga dan manikam-manikam mirah.

Matahari dan bulan --yang satu di siang hari, yang lain di malam hari, tunduk hormat pada debu; dari puja-hormat itu berasal gerak mereka. Tuhanlah yang telah membentangkan siang dengan warna putih, Ia juga yang telah melipatnya jadi malam dan menghitamkannya.

Kepada burung merak Ia berikan lengkung leher baju dari emas; dan burung Hudhud Ia jadikan pembawa berita tentang Jalan itu.

Angkasa bagai burung yang mengepak-kepakkan sayap sepanjang jalan yang telah ditentukan Tuhan baginya, sambil memukul-mukul Pintu dengan kepalanya seperti dengan martil.

Tuhan telah membuat angkasa berputar -- malam berganti siang dan siang berganti malam.

Bila Ia meniupkan nafas-Nya pada tanah liat, terciptalah manusia; dan dari sedikit uap dibentukNya dunia.

Kadang disuruh-Nya anjing berjalan di muka pengembara; kadang digunakanNya kucing menunjukkan Jalan itu.

Kadang Ia berikan kesaktian Sulaiman pada sebatang tongkat; kadang Ia berikan kepandaian berbicara pada semut.

Dari sebatang tongkat Ia jadikan seekor ular; dan dengan sebatang tongkat ia timbulkan limpahan air.

Ia telah menempatkan di angkasa bola kebanggaan, dan mengikatnya dengan besi bila bola itu susut dengan warna merah menyala.

Ia timbulkan seekor unta dari batu karang, dan Ia buat anak lembu emas itu menguak.

Di musim dingin ia tebarkan salju perak; di musim gugur, emas daunan kuning.

Ia letakkan selubung pada duri dan Ia warnai itu dengan warna darah.

Kepada melati Ia berikan empat helai kelopak dan di kepala bunga tulip Ia kenakan topi merah.

Ia kenakan mahkota emas di kening bunga narsis dan Ia jatahkan mutiara-mutiara embun ke dalam peti-sucinya.

Menanggap Tuhan, jiwa tertanya-tanya, akal pun tak sampai; karena Tuhan, maka langit berpusing, bumi pun bergoyang.

Dari punggung ikan hingga ke bulan setiap zarrah ialah saksi akan ada-Nya.

Dasar bumi dan puncak langit menyatakan sembah-hormat mereka masing-masing pada-Nya.

Tuhan membuat angin, tanah, api dan darah, dan dengan semua ini Ia menyatakan rahasiaNya.

Ia mengambil tanah-liat dan meremasnya dengan air, dan setelah empat puluh pagi Ia menaruh di dalamnya ruh yang menghidupkan tubuh.

Tuhan memberinya kecerdasan agar dapat membedakan benda-benda.

Ketika dilihat-Nya kecerdasan itu dapat membeda-bedakan, Ia berikan padanya pengetahuan agar dapat menimbang dan memikir-mikir.

Tetapi ketika manusia berhasil memiliki berbagai kecakapan, ia mengakui kelemahannya dan diliputi keheranan, sementara badan jasmaninya menyerah pada perbuatan-perbuatan lahiriah.

Kawan atau lawan, semua menundukkan kepala di bawah kayu kuk yang dipasang Tuhan pada kearifannya: dan heran, Tuhan pun mengawasi kita semua.

Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gunung-gunung selaku paku pengukuh bumi dan membasuh wajah bumi dengan air lautan. Kemudian Ia tempatkan bumi di atas punggung lembu jantan, dan lembu jantan itu di atas ikan, dan ikan itu di atas udara. Tetapi di atas mana terletak udara? Di atas yang tiada. Tetapi yang tiada itu tiada --dan segalanya itu pun tiada. Kalau demikian, kagumilah buah karya Tuhan, meskipun Ia sendiri memandang segalanya itu sebagai tiada. Dan mengingat bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada, maka pastilah tiada suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas perairan dan dunia ini di udara. Tetapi tinggalkanlah perairan dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda-benda hanya punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak terlihat hanya Dia Sendiri jua.

Tiada siapa pun kecuali Dia. Tetapi juga, tak seorang pun dapat melihat Dia. Mata ini buta, meskipun dunia diterangi dengan matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat melihat Dia sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri.

Semua orang yang sadar akan ketidaktahuan mereka bercancut tali wanda dan berkata dengan sungguh-sungguh, "O Kau yang tak tampak meskipun Kau membuat kami kenal pada-Mu, setiap orang ialah Kau dan tiada yang lain kecuali Kau yang dinyatakan. Jiwa tersembunyi dalam raga dan Kau tersembunyi dalam jiwa. O Kau yang tersembunyi dalam apa yang tersembunyi, Kau lebih dari segalanya. Semua mengetahui diri mereka ada dalam diri-Mu dan mereka pun mengetahui diri-Mu dalam segalanya. Karena rumah-Mu dikelilingi para pengawal dan penjaga, bagaimana dapat kami mendekat ke hadiratMu? Tiada hati maupun akal budi dapat sampai pada hakikat diri-Mu, dan tak seorang pun mengenal sifat-sifat-Mu. Karena Kau kekal dan sempurna, maka Kau senantiasa mempermalukan si bijak. Apa lagi yang dapat kami katakan, karena Kau tak terlukiskan!"

O, hatiku, bila kau ingin sampai pada ambang pengertian, berjalanlah hati-hati. Bagi setiap zarrah ada pintu tersendiri, dan bagi setiap zarrah ada jalan tersendiri yang menuju ke Wujud penuh rahasia yang kusebutkan itu. Untuk mengenal diri sendiri orang harus menghayati seratus kehidupan. Tetapi kau harus mengenal Tuhan dari Dia sendiri dan bukan dari dirimu; Dialah yang membukakan jalan menuju padaNya, bukan pengetahuan manusia. Pengetahuan tentang Dia tak tersedia di pintu orang-orang yang pandai menyusun kata. Pengetahuan dan kebodohan di sini sama, karena keduanya tak dapat menjelaskan maupun melukiskan. Pendapat orang-orang tentang ini hanya timbul dalam angan-angan mereka; dan aneh tentunya untuk mencoba mengambil kesimpulan dari apa yang mereka katakan: baik atau buruk, apa yang mereka katakan itu hanya berasal dari diri mereka sendiri. Sedang Tuhan di atas segala pengetahuan dan di luar segala bukti, dan tak satu pun yang dapat menggambarkan Keagungan Suci diri-Nya.

O, kau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias; adanya Wujud yang tak terbandingkan ini tak memungkinkan kias. Karena tiada para nabi maupun para utusan dari langit memahami sezarrah terkecil pun; mereka semua bersujud sambil berkata, "Kami tak mengenal Tuan sebagaimana keadaan Tuan yang sebenarnya."

Kalau demikian, apalah artinya aku ini, yang beranggapan bahwa aku mengenal Dia?

O, keturunan bodoh manusia pertama, khalifah Tuhan di bumi,11 berusahalah untuk ikut memiliki pengetahuan ruhani bapamu. Segala mahluk yang diciptakan Tuhan dari yang tiada. bersujud di hadapan-Nya. Ketika Tuhan ingin menciptakan Adam, dikeluarkan-Nya Adam dari balik seratus cadar, lalu kata-Nya kepada Adam, "O Adam, sekalian makhluk bersembah-sujud padaKu; kini tiba saatnya bagimu menerima sembah-sujud mereka." Yang satu itu, yang tak mau melakukan sembah-sujud ini pun diubah dari malaikat menjadi setan. Ia dikutuk dan tak memiliki pengetahuan rahasia itu. Wajahnya jadi hitam, lalu sembahnya pada Tuhan, "O, Tuhan yang memiliki kebebasan mutlak, jangan tinggalkan hamba."

Yang Maha Tinggi menjawab, "Kau yang terkutuk, ketahuilah bahwa Adam hamba-Ku dan juga raja alam ini. Hari ini pergilah ke hadapannya, dan esok bakarlah Ispand untuknya."

Ketika jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun merupakan bagian dari keseluruhan itu: belum pernah ada pesona yang mengagumkan seperti itu. Jiwa punya peranan dalam apa yang tinggi, dan raga punya peranan dalam apa yang rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang pekat dan ruh yang murni. Karena paduan ini, maka insan pun menjadi yang paling mengagumkan dari segala rahasia. Kita tak tahu dan tak mengerti sedikit pun tentang ruh kita. Jika kau ingin mengatakan sesuatu tentang ini, lebih baik kau diam. Banyak yang tahu akan permukaan lautan ini, tetapi mereka tak mengerti sedikit pun akan dasarnya yang terdalam dan dunia lahiriah ini ialah pesona yang melindunginya. Tetapi pesona yang berupa rintangan-rintangan jasmani ini akhirnya akan rusak. Dan akan kau temukan harta itu bila pesona itu lenyap; jiwa pun akan menyingkapkan dirinya sendiri bila raga tersingkir. Tetapi jiwamu ialah suatu pesona yang lain; dalam hal yang berhubungan dengan rahasia ini, jiwa itu suatu kenyataan yang lain. Maka tempuhlah jalan yang akan kutunjukkan, tetapi janganlah minta penjelasan.

Di lautan maha raya ini, dunia ialah sebuah zarrah, dan zarrah itu sebuah dunia. Siapa tahu, mana yang lebih berharga di sini, batu permata atau kerikil?

Kita telah mempertaruhkan hidup kita, akal budi kita, jiwa kita, agama kita, untuk memahami kesempurnaan sebuah zarrah. Jahitlah bibirmu dan jangan bertanya apa-apa tentang langit tertinggi atau arasy Tuhan. Tak seorang pun yang sungguh-sungguh tahu akan hakikat zarrah itu - tanyakan pada siapa saja sesukamu. Langit bagai kubah terbalik, tanpa ketetapan yang pasti, bergerak dan sekaligus juga tak bergerak. Orang tenggelam dalam renungan tentang rahasia yang demikian, yang bagai cadar berlapis cadar; orang pun serupa gambar yang terlukis di dinding; ia hanya bisa merasa kecewa melihat hasratnya yang tak sampai.

Pikirkan mereka yang menempuh jalan ruhani. Lihat apa yang terjadi pada Adam; ingat berapa tahun yang ia lewatkan dalam berduka. Renungkan air bah di masa Nuh dan sekalian kepala suku itu, yang menderita dalam cengkeraman orang-orang yang jahat. Pikirkan Ibrahim yang penuh cinta pada Tuhan: ia menderita penganiayaan dan dilemparkan ke dalam api. Ingat Ismail malang, yang dikorbankan demi cinta ilahiat. Tengok Ya,kub yang menjadi buta lantaran meratapi putranya. Lihat Yusuf, yang mengagumkan baik ketika berkuasa maupun ketika menghamba, ketika dalam sumur dan dalam penjara. Kenangkan Ayub yang papa, yang menggeliat di tanah menjadi mangsa cacing dan serigala. Ingat Yunus, setelah tersesat dari Jalan itu, meninggalkan bulan ke perut ikan. Lihat Sulaiman, yang kerajaannya dikuasai jin. Ingat Zakaria, begitu menyala-nyala cintanya pada Tuhan sehingga ia tetap diam ketika orang-orang membunuhnya; dan Yahya, yang dihinakan di muka orang banyak, dan kepalanya diletakkan di atas lempengan kayu. Tegak berdirilah di kaki tiang Salib mengagumi Isa ketika ia menyelamatkan dirinya dari tangan-tangan orang Yahudi. Dan akhirnya, renungkanlah segala yang diderita oleh Pemimpin sekalian nabi itu, berupa penghinaan dan penganiayaan dari orang-orang yang jahat.

Setelah itu, adakah kau mengira mudah saja untuk sampai ke pengetahuan keruhanian? Itu tak kuranglah artinya dari keberanian menghadapi segalanya. Apa yang akan kukatakan selanjutnya, karena tak ada lagi yang mesti kukatakan, dan tak ada pula setangkai mawar pun yang tinggal dalam semak! O, Kearifan! Kau tak lebih dari anak susuan; dan akal budi orang-orang tua dan berpengalaman pun sesat dalam pencarian ini. Betapa aku, si dungu, akan dapat sampai ke Hakikat ini; dan kalaupun dapat, bagaimana aku akan bisa masuk lewat pintu itu? O Khalik Yang Kudus!

Hidupkan semangatku! Orang-orang yang percaya dan tak percaya sama-sama bermandi darah, dan kepalaku berpusing bagai langit. Aku bukan tanpa harapan, tetapi aku tak sabar.

Kawan-kawanku! Kita sama-sama bertetangga: aku ingin mengulang-ulang pembicaraanku padamu siang dan malam, agar kalian tidak sejenak pun menghentikan keinginan mulai mencari Kebenaran.





II. BURUNG-BURUNG BERKUMPUL




SELAMAT DATANG, O Hudhud! Kau yang menjadi penunjuk jalan Raja Sulaiman dan menjadi utusan sejati dari lembah, yang beruntung dapat pergi hingga ke batas-batas Kerajaan Saba. Tutur siulmu dengan Sulaiman menyenangkan; sebagai kawan baginya, kau pun mendapat mahkota kehormatan. Kau harus membelenggu setan, si penggoda itu, dan sesudah demikian, kau akan dapat masuk ke istana Sulaiman.

O, si Goyang Ekor (Mucicha), kau yang seperti Musa! Angkat kepalamu dan kumandangkan serulingmu mengagungkan pengetahuan yang benar tentang Tuhan. Seperti Musa, kau pun telah melihat api itu dari jauh, kau benar-benar Musa kecil di bukit Tursina. Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah, tanpa suara; maka pahamilah pula tanpa pikiran, tanpa telinga.

Selamat datang, o, Nuri! Kau yang berjubah indah dan mengenakan lengkung leher baju dari api, lengkung leher baju ini patut bagi penghuni neraka, tetapi jubahmu layak bagi sorga. Dapatkah Ibrahim menyelamatkan diri dari api Nimrod? Pecahkan kepala Nimrod dan jadilah sahabat Ibrahim yang menjadi sahabat Tuhan. Setelah kau dibebaskan dari tangan Nimrod, kenakan jubah kehormatanmu dan tak usah kau takut akan lengkung leher baju dari api itu.

Selamat datang, o, Ayam Hutan! Kau yang berjalan begitu anggun, dan merasa puas bila terbang di atas gunung-gunung pengetahuan ilahiat. Bangkitlah dengan gembira dan pikirkan manfaat Jalan itu. Ketoklah dengan martil pintu rumah Tuhan; dan dengan rendah hati luluhkanlah gunung nafsumu yang tegar agar unta itu dapat keluar.

Salam, o Elang Mulia! Kau dengan pandangmu yang tajam mencucuk, berapa lama kau akan tetap begitu garang dan bernafsu? Eratkan genggam cakarmu pada surat cinta abadi, tetapi jangan rusakkan capnya sampai akhir nanti. Padukan semangatmu dengan akal budi dan pandanglah keabadian yang kemudian dan yang sebelumnya itu satu. Patahkan rangkamu yang buruk dan mantapkan dirimu di gua wahadiyat, maka Muhammad pun akan datang padamu.

Salam, o Pikau ! Ketika dalam jiwamu kau mendengar perjanjian cinta ilahiat, jasad nafsumu menjawab dengan gusar dan tak senang. Pergunakanlah jasad nafsumu seperti keledai Nabi Isa, dan kemudian, seperti Al-Masih, bakar dirimu dengan cinta pada Al-Khalik. Bakar keledai ini dan ambil burung cinta, agar Ruh Tuhan hendaknya datang padamu dengan gembira.

Salam, o Bulbul dari Taman Cinta! Perdengarkan nyanyi ratapmu yang timbul karena luka dan kepedihan cinta. Merataplah dengan manis, seperti Daud. Bukalah tenggorokanmu yang merdu dan nyanyilah tentang keruhanian. Dengan nyanyianmu tunjukkan insan jalan yang benar. Jadikan besi hatimu selembut lilin, maka kau pun akan serupa Daud, mesra dalam mencintai Tuhan.

Salam, o Merak dari Taman Berpintu Delapan! Kau telah menderita lantaran ular berkepala tujuh itu; karena dialah kau terusir dari Sorga. Jika kau membebaskan dirimu dari ular yang menjijikkan ini, Adam akan membawamu ke Sorga.

Salam, o Kuau Utama! Kau melihat apa yang jauh sayup, dan kau pun melihat mata-air nurani yang tercelup di lautan cahaya, sementara kau tinggal di sumur kegelapan dan penjara ketakpastian. Keluarlah kau dari sumur itu dan angkat kepalamu menengadah ke arasy Ilahi.

Selamat, o, Tekukur yang mengadah lembut! Kau pergi dengan senang dan kembali dengan hati pilu ke penjara yang sesempit penjara Yunus. O, kau yang mengedar ke sana-sini bagai ikan, dapatkah kau tinggal merindu dendam? Potong kepala ikan ini agar dapat bermegah diri di puncak bulan.

Salam, o Merpati! Dendangkanlah nyanyianmu agar aku dapat menaburkan di seputarmu tujuh pinggan mutiara. Karena lengkung leher baju keimanan melingkar di lehermu, tak layak bagimu jika tak beriman. Bila kau menempuh jalan keinsafan, Khizr pun akan membawakan kau air hayat.

Selamat datang, o Rajawali! Kau telah terbang, dan setelah mendurhaka terhadap tuanmu, kau pun menundukkan kepala! Baik-baiklah kau membawa diri. Kau terikat pada tubuh dunia ini, dan karena itu, jauh dari yang lain. Bila kau terbebas dari semesta dunia, kini dan nanti, kau akan ada di tangan Iskandar.

Selamat datang, o Pingki Kencana! Datanglah dengan gembira. Jadilah bergairah untuk bertindak, dan datanglah bagai api. Bila kau telah membakar habis keterikatanmu, nur Ilahi akan semakin jelas. Karena hatimu mengenal kerahasiaan Tuhan tetaplah beriman. Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau tak akan ada lagi. Hanya Tuhan yang senantiasa ada.


III. MUSYAWARAH BURUNG

1. Musyawarah Dibuka

SEGALA burung di dunia, yang dikenal dan tak dikenal, datang berkumpul. Mereka berkata, "Tiada negeri di dunia ini yang tak beraja. Maka bagaimana mungkin kerajaan burung-burung tanpa penguasa! Keadaan demikian tak bisa dibiarkan terus. Kita mesti berusaha bersama-sama untuk mencarinya; karena tiada negeri yang mungkin memiliki tata usaha yang baik dan tata susunan yang baik tanpa raja."

Maka mereka mulai memikirkan bagaimana hendak mencarinya. Burung Hudhud, dengan bersemangat dan penuh harapan, tampil ke muka lalu menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu. Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah mengikuti tarikat pengetahuan ruhani; jambul di kepalanya sebagai mahkota kebenaran, dan dia memiliki pengetahuan tentang baik dan buruk.

"Burung-burung yang terhormat," dia mulai, "akulah yang bergiat dalam perjuangan suci, dan aku utusan dari dunia yang tak terlihat di mata. Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan. Bila ada yang --seperti aku-- membawa nama Tuhan, Bismillah, di paruhnya, itu berarti bahwa dia pasti memiliki pengetahuan tentang banyak hal yang tersembunyi. Namun hari-hariku berlalu dengan resah dan aku tak berurusan dengan siapa pun, karena aku sama sekali dikuasai oleh cinta pada Raja. Aku dapat mencari sumber air dengan naluriku, dan banyak rahasia lain yang kuketahui. Aku bicara dengan Sulaiman dan aku yang paling penting di antara para pengikutnya. Mengherankan bahwa ia tak menanyakan ataupun mencari mereka yang tak hadir dalam kerajaannya, namun bila aku pergi sehari saja, disebarnya utusan di mana-mana, dan karena ia tak mungkin tanpa aku sebentar maka nilai kepentinganku telah mantaplah selamanya. Aku membawa surat-suratnya, aku pengiringnya yang terpercaya. Burung yang diinginkan Nabi Sulaiman patut mendapat mahkota di kepalanya. Burung yang dikatakan baik oleh Tuhan, mana mungkin menyeret bulu-bulunya dalam debu? Bertahun-tahun aku telah mengelana di laut dan di darat, lewat di atas gunung-gunung dan lembah-lembah. Kucakup ruangan maha luas di masa banjir besar; aku menyertai Sulaiman dalam perjalanan-perjalanannya, dan aku telah mengukur batas-batas dunia.

Kukenal baik Rajaku, tetapi sendiri saja tak dapat aku pergi mencarinya. Tinggalkan keseganan kalian, kesombongan kalian dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari ikatan baik dan buruk demi yang dicintainya. Bermurah hatilah dengan hidup kalian. Jejakkan kaki kalian di tanah dan melangkahlah ke istana Raja. Kita mempunyai Raja sejati, ia tinggal di balik gunung-gunung Kaf. Namanya Simurgh dan ia raja segala burung. Ia dekat dengan kita, tetapi kita jauh darinya. Tempat persemayamannya tak dapat dicapai, dan tiada lidah yang dapat mengucapkan namanya. Di mukanya tergantung seratus ribu tabir cahaya dan kegelapan, dan dalam kedua dunia itu tak ada yang dapat menyangsikan kerajaannya. Ia Raja yang berdaulat raya dan bermandikan kesempurnaan dari keagungannya. Ia tak membukakan diri sepenuhnya meskipun di tempat persemayamannya sendiri, dan tentang ini tak ada pengetahuan atau kecerdasan yang dapat meraihnya. Jalan itu tak dikenal, dan tak ada yang berteguh hati mencarinya, meskipun ribuan makhluk melewatkan hidupnya dalam kerinduan. Bahkan jiwa yang paling suci pun tak dapat melukiskannya, dan akal budi tak pula dapat memahami: kedua belah mata ini pun buta. Si bijak tak dapat mengetahui kesempurnaannya dan si arif tak pula dapat mengamati keindahannya. Sekalian makhluk memang ingin meraih kesempurnaan dan keindahan itu dengan bayangan angan. Tetapi betapa dapat kalian menempuh jalan itu dengan pikiran? Bagaimana mengukur bulan dari ikan? Begitulah, ribuan kepala pun bergerak ke sana ke mari, dan hanya ratap dan keluh kerinduan saja yang terdengar. Banyak laut dan daratan di tengah jalan. Jangan kira perjalanan itu singkat; dan kita mesti berhati singa untuk menempuh jalan yang luar biasa itu, karena jalan itu amat panjang dan laut itu dalam. Ada yang berjalan dengan susah payah dan keheranan, sambil kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang menangis. Adapun bagiku, aku akan merasa bahagia menemukan biar hanya jejaknya saja. Itu akan ada juga artinya, tetapi hidup tanpa dia tentulah akan menjadi sesalan. Janganlah kita menutup jiwa kita terhadap yang kita kasihi, tetapi hendaklah kita ada dalam keadaan yang serasi untuk menuntun jiwa kita ke istana Raja kita itu. Cucilah tangan kalian dari kehidupan ini bila kalian ingin disebut pengamal. Demi yang kalian kasihi, tinggalkan kehidupan kalian yang berharga ini, sebagai muliawan. Bila kalian menyerahkan diri dengan manis, sang kekasih pun akan memberikan seluruh hidupnya pada kalian."


Pengejawantahan Simurgh yang Pertama

"Sungguh ajaib! Pengejawantahan Simurgh yang pertama terjadi di Cina pada tengah malam. Sehelai bulunya jatuh di Cina dan kemasyhuran namanya pun memenuhi dunia. Setiap orang membuat lukisan yang menggambarkan bulu ini, dan dari lukisan itu dibentuk susunan pikirannya sendiri dan dengan demikian tergelincirlah ia dalam kekacauan. Lukisan ini masih ada di gedung lukisan di negeri itu; maka dihadiskan, 'Carilah ilmu, walau ke Cina!'

Tetapi terhadap pengejawantahan itu tak begitu banyak ribut-ribut di dunia mengenai Wujud yang penah rahasia ini. Tanda akan adanya itu membuktikan keagungannya. Semua jiwa menyimpan kesan gambaran angan tentang bulunya. Karena penggambaran tentang Simurgh tanpa kepala maupun ekor, tanpa awal maupun akhir, maka tak perlu pemerian lebih lanjut. Kini siapa pun di antara kalian yang hendak menempuh perjalanan yang kusebutkan, siapkan diri dan injakkan kaki di Jalan itu."

Setelah Hudhud selesai bicara, dengan bersemangat burung-burung pun mulai membicarakan keagungan Raja itu, dan dicekam keinginan hendak menjadikan Raja itu penguasa mereka, maka tak sabar mereka pun ingin berangkat. Mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama; masing-masing pun menjadi kawan bagi yang lain dan menjadi lawan dirinya sendiri. Tetapi ketika mereka mulai menyadari betapa jauh dan pedihnya perjalanan mereka nanti, maka mereka pun ragu-ragu, dan meskipun jelas mereka berkemauan baik, namun mereka mulai berdalih menyatakan keberatan, masing-masing sesuai dengan wataknya.

2. Bulbul

Bulbul yang penuh cinta lebih dulu tampil ke muka, hampir gila karena gairah nafsunya. Dituangkannya perasaannya dalam masing-masing dari seribu nada nyanyiannya. Dan dalam setiap nada itu dapat ditemukan sebuah dunia penuh rahasia. Ketika ia menyanyikan rahasia-rahasia ini, sekalian burung itu pun terdiam. "Rahasia-rahasia cinta tak asing bagiku," katanya. "Sepanjang malam berulang-ulang kunyanyikan nyanyian-nyanyian cinta. Tak adakah Daud yang malang tempat aku dapat menyanyikan mazmur cinta penuh kerinduan? Tangis seruling yang manis itu ialah lantaran aku, begitu pula ratap kecap; itu. Kutimbulkan kacau di antara bunga-bunga mawar dan juga di hati para kekasih. Selalu kuajarkan rahasia-rahasia baru, dan setiap kali kuulang nyanyian-nyanyian duka yang baru. Bila cinta menguasai jiwaku, suara nyanyianku pun bagai laut yang mengeluh sayu. Siapa mendengar aku, akan meninggalkan akal budinya, meskipun ia ada di antara para cendekia. Bila aku berpisah dari Mawarku tercinta, aku pun merasa sunyi, aku tak lagi menyanyi, dan tak kututurkan pada siapa pun rahasiaku. Tak ada yang mengetahui rahasiaku; hanya Mawar mengetahuinya dengan pasti. Begitu dalam aku terlibat dalam cinta dengan Mawar hingga aku pun tak memikirkan hidupku sendiri; dan hanya memikirkan Mawar dengan kelopaknya yang bagai karang bercabang-cabang itu. Perjalanan mendapatkan Simurgh ada di luar kekuatanku; cinta dari Mawar itu cukuplah bagi Bulbul ini. Untuk akulah dia berbunga dengan seratus kelopaknya itu; apa lagi yang mungkin kuharapkan. Mawar yang berbunga hari ini penuh kerinduan, dan ia tersenyum ria untukku. Bila ia memperlihatkan wajahnya di balik cadar, aku tahu bahwa itu untukku. Maka bagaimana dapat Bulbul ini tinggal semalam saja tanpa cinta dari jelita pemesona itu?"





3. Hudhud

Hudhud menjawab, "O Bulbul, kau yang tak mau ikut, silau karena bentuk lahiriah dari segala ini, berhentilah menikmati keterikatan yang begitu menyesatkan. Cinta Mawar itu banyak durinya; ia mengusik dan menguasai dirimu. Meskipun Mawar itu jelita, namun keindahannya akan segera lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah menjadi budak cinta yang begitu cepat berlalu. Jika senyum Mawar itu menimbulkan berahimu, maka itu hanya akan mengisi hari demi harimu dan malam demi malammu dengan ratapan-ratapan kesedihan. Tinggalkan Mawar itu dan hendaknya kau malu pada dirimu sendiri; sebab, bersama tiap Musim Semi yang baru, ia menertawakanmu dan kemudian ia pun tak tersenyum lagi."


4. Nuri
Lalu datang Nuri dengan gula di paruhnya, berpakaian hijau, dan lengkung leher baju kencana melingkar di lehernya. Rajawali hanyalah nyamuk di sisi keindahannya yang cemerlang; permadani bumi yang hijau ialah pantulan bulu-bulunya, dan tutur katanya ialah sari gula. Dengarkan dia: "Begitu menawan aku ini, hingga manusia keji yang berhati besi mengurungku dalam sangkar. Terikat dalam penjara ini, aku pun merindukan sumber air kebakaan yang dijaga oleh Khizr. Seperti dia, aku pun berpakaian hijau, sebab aku ini Khizr di antara burung-burung. Aku ingin pergi ke sumber air ini, tetapi ngengat tidak berdaya mengangkat dirinya ke sayap Simurgh yang besar itu; mata air Khizr cukuplah bagiku."
Hudhud menjawab, "O kau yang tak punya cita-cita kebahagiaan! Siapa yang tak mau meninggalkan hidupnya, bukanlah makhluk. Hidup diberikan padamu agar suatu ketika kau dapat mempunyai sahabat yang mulia. Tempuhlah Jalan itu, karena kau bukan buah badam, kau hanya kulitnya. Masuklah di kalangan mereka yang mulia dan tempuhlah Jalan mereka dengan senang."


5. Merak
Selanjutnya datang Merak Kencana dengan bulu-bulunya yang seratus -bagaimana mesti kuperikan?- seratus ribu warna itu! Ia memperagakan dirinya, putar-putar ke sana-sini, bagai pengantin.
"Pelukis dunia raya ini," katanya, "mempergunakan kuas Jin di tangannya untuk membentuk daku. Tetapi meskipun aku ini Jibril di antara burung-burung, nasibku tak layak diirikan. Aku beramah-ramahan dengan ular di sorga dunia ini, dan lantaran itu dengan hina aku terusir. Mereka lepas aku dari kedudukan yang dipercayakan padaku; mereka, yang mempercayai diriku itu, dan kaki pun menjadi penjaraku. Namun aku selalu berharap agar ada penunjuk jalan yang bermurah hati mau menuntun aku keluar dari tempat yang gelap ini dan membawaku ke rumah-rumah besar yang tinggal berdiri selamanya. Aku tak mengharapkan akan sampai ke hadapan Raja yang kausebutkan itu, cukuplah bagiku untuk sampai ke gerbangnya. Bagaimana dapat kau harapkan diriku akan berusaha untuk sampai ke hadapan Simurgh karena aku telah tinggal di sorga dunia? Tak ada keinginanku yang lain kecuali tinggal di sana lagi. Tiada yang lain lagi yang berarti bagiku."
Hudhud menjawab, "Kau tersesat dari Jalan yang benar itu. Istana Raja itu jauh lebih bagus dari sorgamu. Tak ada yang lebih baik bagimu selain berusaha untuk sampai ke sana. Istana itu tempat tinggal bagi jiwa, ia keabadian, ia tujuan keinginan kita yang sebenarnya, permukiman hati, tempat duduk kebenaran. Yang Maha Luhur itu lautan maha raya; sorga rahmat duniawi hanyalah setitik kecil; segala yang bukan lautan itu hanya sesuatu yang membingungkan. Bila kau dapat memiliki lautan itu, mengapa kau ingin mencari setitik embun petang? Akankah ia yang tahu akan rahasia surya iseng bermain dengan sejemput debu? Adakah ia yang mempunyai segalanya berurusan dengan apa yang hanya merupakan sebagian saja? Adakah jiwa berurusan dengan anggota-anggota badan? Bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, jadilah kesemestaan."

6. Itik
Dengan takut-takut Itik pun keluar dari air lalu pergi ke persidangan itu, mengenakan jubahnya yang terindah. "Tiadalah kiranya yang pernah menyaksikan makhluk yang lebih menarik dan lebih suci daripadaku," katanya. "Setiap saat aku melakukan sesuci yang menjadi kelaziman itu, lalu membentangkan tikar sembahyang di air. Burung mana dapat hidup dan bergerak di air seperti aku? Dalam hal ini aku punya kemampuan yang mengagumkan. Di antara burung-burung aku petobat yang berpenglihatan jernih, berpakaian bersih; dan aku hidup dalam unsur yang suci. Tak ada yang lebih bermanfaat bagiku kecuali air, karena di sana kudapat makananku dan kumiliki permukimanku. Bila kesusahan-kesusahan merisaukan diriku, kubasuhhilangkan semuanya di air. Air jernih memberikan zat-zatnya pada sungai di mana aku hidup; aku tak suka akan tanah kering. Begitulah, karena aku hanya berurusan dengan air, mengapa pula aku harus meninggalkannya? Segala yang hidup ini hidup dari air. Bagaimana aku akan dapat melintasi lembah-lembah dan terbang mendapatkan Simurgh? Mana mungkin macam aku ini yang puas dengan permukaan air, merasa rindu untuk bertemu dengan Simurgh?"
Hudhud berkata, "O kau, yang menemukan kegembiraan di air yang memenuhi seluruh hidupmu! Bermalas-malas kau mengantuk di sana --tetapi ombak datang dan kau dihanyutkan Air hanya baik buat mereka yang bermuka jelita dan berwajah bersih. Jika kau seperti itu, baiklah! Tetapi berapa lama kau akan tetap bersih dan suci bagai air?"


7. Ayam Hutan
Ayam hutan lalu mendekat, cantik tetapi sombong. Tersipu-sipu ia bangkit dari harta mutiaranya dalam pakaian fajar itu. Dengan mata berlingkar aku mati atau menemukan batu-batu mulia itu darah dan paruh merah ia terbang sambil sedikit menelengkan kepala, memakai ikat pinggang dan pedangnya.
Ia berkata, "Aku suka mengelana di antara reruntuhan karena aku menyukai batu-batu mulia. Benda-benda itu telah menyalakan api di hatiku dan ini membuat aku merasa puas. Bila aku dibakar keinginan untuk mendapatkannya, kerikil-kerikil yang telah kutelan pun menjadilah seakan diwarnai darah. Tetapi sering kudapati diriku di antara batu-batu dan api, tak berbuat apa-apa dan bingung. O kawan-kawanku, lihat bagaimana aku hidup! Mungkinkah membangunkan makhluk yang tidur di atas batu-batu dan menelan kerikil?
Hatiku luka karena seratus duka, sebab cintaku akan batu-batu mulia telah menambatku ke gunung. Cinta akan benda-benda lain bersifat fana, sedang kerajaan batu-batu permata itu kekal; batu-batu permata itu sari dari gunung yang abadi. Dengan ikat pinggang dan pedangku aku senantiasa mencari intan, namun aku masih harus menemukan zat yang lebih unggul sifataya dari batu-batu mulia --bahkan mutiara pun tak seindah itu. Juga, jalan menuju Simurgh sulit, dan kakiku terikat pada batu-batu seakan kaki itu lekat di tanah liat. Bagaimana mungkin aku berharap akan pergi dengan berani ke hadapan Simurgh yang besar, dengan tangan di kepala, kaki di lumpur? Biarlah Keluhuranku sudah jelas, dan ia yang tak ikut serta dalam tujuanku ini tak perlu diperhatikan."
Hudhud berkata, "O kau yang mengandung warna segala batu, kau sedikit timpang dan memberikan alasan-alasan yang timpang pula. Darah hatimu menodai cakar dan paruhmu dan usahamu mencari itu merendahkan martabat dirimu. Apakah permata itu kalau bukan hanya batu-batu berwarna? Namun kesukaan akan permata telah membuat hatimu mengeras beku. Tanpa warna-warna itu permata hanya kerikil-kerikil kecil biasa; ia yang memiliki saripati tak akan meninggalkannya demi gemerlap kulit luar semata. Carilah permata sejati yang bermutu murni dan jangan merasa puas lagi dengan sebutir batu."


8. Humay
Kini di muka majelis itu berdiri Humay, Pemberi Lindap itu, dengan bayang-bayangnya yang melimpahkan kemuliaan pada raja-raja. Lantaran ini ia mendapat gelar "Humayun", si mujur, karena dari segala makhluk, dialah yang paling besar gairah keinginannya. Katanya, "Burung-burung di darat dan di laut, aku bukan burung seperti kalian. Gairah keinginan yang muluk menggerakkan diriku dan untuk memenuhi itu aku terpisah dari makhluk-makhluk lain. Telah kujinakkan anjing nafsu, karena itu terpujilah Feridun dan Jamsyid. Raja-raja diangkat karena pengaruh bayang-bayangku, tetapi orang-orang yang berwatak pengemis tak suka padaku. Kuberikan tulang pada anjing nafsuku dan kupertaruhkan jiwaku sebagai jaminan terhadapnya. Bagaimana orang dapat memalingkan muka dari diriku yang menimbulkan raja-raja dengan bayang-bayangku. Di bawah naungan sayapku setiap orang mencari lindungan. Masihkah kuperlukan persahabatan dengan Simurgh yang besar bila kemuliaan sudah ada padaku karena sifat pembawaanku?"
Hudhud menjawab, "O budak kesombongan! Jangan kembangkan lagi bayang-bayangmu dan jangan sombongkan lagi dirimu. Pada saat ini, jauh dari kekuasaan yang melimpah pada para raja, kau seperti anjing yang sibuk dengan sekerat tulang. Tuhan melarang kau mendudukkan keturunan Khosru di atas tahta. Tetapi andaikan pula bayang-bayangmu menempatkan para penguasa di atas tahta mereka, esok mereka pun akan menemui kemalangan dan akan kehilangan kemuliaan mereka selama-lamanya, sedangkan, bila saja mereka tak melihat bayang-bayangmu, tentulah mereka tak akan menghadapi perhitungan yang begitu mengerikan di hari kemudian."


9. Dalih Rajawali
Selanjutnya datang Rajawali, dengan kepala tegak dan sikap seperti prajurit. Ia pun berkata, "Aku yang senang menyertai para raja tak mengacuhkan makhluk-makhluk lain. Kututup mataku dengan peci agar aku dapat bertengger di tangan raja. Aku amat terlatih dalam sopan-santun dan menjalankan pertarakan seperti petobat agar bila dibawa ke hadapan raja, aku dapat melakukan tugas-tugasku dengan tepat seperti yang diharapkan. Mengapa pula aku harus bertemu dengan Simurgh, meskipun dalam mimpi? Mengapa begitu saja aku harus bergegas kepadanya? Aku tak merasa terpanggil untuk ikut serta dalam perjalanan ini, aku puas dengan sesuap dari tangan raja; istananya cukup bagus bagiku. Ia yang bermain-main demi kesenangan raja, mendapatkan segala keinginannya; dan agar berkenan di hati raja, aku hanya harus terbang lewat lembah-lembah yang tak bertepi. Tak ada keinginanku yang lain kecuali melewatkan hidupku penuh kegembiraan dengan cara begini baik dengan melayani raja maupun dengan berburu menurut kesukaannya."


Jawab Hudhud
Hudhud berkata, "O kau yang terikat pada bentuk lahiriah semata dan tak peduli akan nilai-nilai hakiki, Simurgh ialah makhluk yang layak dengan kedudukannya sebagai Raja, karena kewibawaannya tiada duanya. Tiada raja sejati yang melaksanakan kehendaknya tanpa pikir. Raja demikian patut dipercaya dan pengampun. Meskipun raja duniawi mungkin sering adil pula, namun mungkin pula ia bersalah karena tak adil. Siapa lebih dekat padanya, lebih enak pula kedudukannya. Yang beriman terpaksa harus menentang raja, maka hidupnya pun sering dalam bahaya. Karena raja dapat dibandingkan dengan api, maka jauhilah! Oh, kau yang telah hidup berdekatan dengan raja-raja, hati-hatilah! Dengarkan ini: Adalah sekali seorang raja mulia, ia mempunyai seorang hamba yang badannya bagaikan perak. Hamba itu amat disayanginya sehingga tak dapatlah sang raja sebentar pun berpisah daripadanya. Diberinya hamba itu pakaian-pakaian yang terindah dan ditempatkannya di atas kawan-kawannya. Tetapi kadang-kadang raja itu menghibur diri dengan bermain panah, dan biasanya ditaruhnya sebuah apel di atas hamba kesayangannya dan digunakannya apel itu sebagai sasaran. Dan bila raja melepaskan anak panahnya, hamba itu pun menjadi pucat karena takut. Suatu hari seseorang berkata pada hamba itu, "Mengapa wajahmu berwarna emas? Kau orang kesayangan raja, mengapa pucat seperti mayat?" Jawabnya, 'Bila sang raja hampir mengenai diriku dan bukan apel itu, maka katanya, Hamba ini hampir menjadi sesuatu yang paling tak berguna di istanaku; tetapi bila anak panahnya mengenai sasaran, setiap orang mengatakan hal itu karena kemahirannya. Adapun aku, dalam keadaan yang menyedihkan ini, hanya bisa berharap agar raja akan senantiasa melepaskan anak panahnya dengan tepat'!"


10. Bangau
Bangau datang amat tergesa-gesa dan segera mulai bicara tentang dirinya sendiri, "Rumahku yang jelita di dekat laut di antara danau-danau pantai, di mana tiada siapa juga mendengar nyanyianku. Aku amat tak suka menyerang sehingga tak ada yang merasa susah karena aku. Sedih dan murung aku berdiri merenung di tepi laut asin, hatiku penuh kerinduan akan air, karena kalau tak ada air, apa yang akan terjadi padaku! Tetapi karena aku tidak tergolong mereka yang bermukim di laut, aku seperti mati saja, bibirku kering, di pantainya. Meskipun air bergolak dan ombak memecah di kakiku, aku tak dapat menelan setitik pun; namun jika lautan kehilangan airnya biar sedikit saja pun, hatiku akan terbakar oleh keresahan. Bagi makhluk seperti aku ini, gairahku terhadap laut cukuplah sudah. Aku tak kuat untuk pergi mencari Simurgh, maka harap dimaafkan. Mana mungkin makhluk seperti aku ini, yang hanya mencari setitik air, dapat mencapai persatuan dengan Simurgh?"
Berkata Hudhud, "O yang tak mengenal laut, tidakkah kau tahu bahwa laut penuh dengan buaya dan makhluk-makhluk lain yang berbahaya? Kadang airnya pahit, kadang asin; kadang laut itu tenang, kadang bergelora; senantiasa berubah, tak pernah tetap; kadang laut itu pasang, kadang surut. Banyak makhluk besar telah tertelan binasa di tubirnya yang dalam. Penyelam di dasarnya menahan napas agar ia tak terlempar ke atas bagai jerami. Laut ialah unsur yang sama sekali tanpa kesetiaan. Jangan percaya padanya atau ia akan menghabisi hidupmu dengan merendammu. Laut itu gelisah karena cintanya akan sahabatnya. Kadang ia menggulungkan gelombang-gelombang besar, kadang ia berderau. Karena ia tak mungkin mendapatkan apa yang diinginkannya, bagaimana kau akan menemukan di sana tempat istirahat bagi hatimu? Lautan ialah anak sungai yang pasang di jalan menuju ke tempat sahabatnya; kalau demikian, mengapa pula kau akan tinggal puas di sini, dan tak berusaha melihat wajah Simurgh?"

11. Burung Hantu
Burung Hantu tampil ke muka dengan wajah kebingungan, dan katanya, "Telah kupilih sebagai tempat tinggalku sebuah rumah bobrok yang sudah runtuh. Aku dilahirkan di antara reruntuhan itu dan di sana kudapatkan kesenangan -- tetapi tidak dalam minum anggur. Aku pun tahu beratus-ratus tempat yang ramai dihuni, tetapi sebagian ada dalam kekacauan dan yang lain dalam permusuhan. Siapa ingin hidup dengan tenteram mesti pergi ke tempat reruntuhan, seperti orang-orang gila. Bila aku merengut di antara mereka, ini disebabkan harta terpendam. Cinta harta menarikku ke sana, karena harta itu terdapat di antara puing-puing runtuhan. Aku pun dapat menyembunyikan usahaku yang penuh damba dalam mencari itu, dan berharap akan mendapatkan harta yang tak dilindungi jejimat itu; jika nanti kakiku dapat menemukannya, maka akan tercapailah keinginan hatiku. Aku memang percaya bahwa cinta terhadap Simurgh itu bukan dongengan, karena cinta demikian tak dihayati oleh mereka yang tak peduli; tetapi aku ini lemah, dan jauh dari merasa pasti akan cintanya, karena aku hanya mencintai harta dan reruntuhan ini."
Hudhud berkata padanya, "O kau yang mabuk karena cinta akan harta, taruhlah kau dapat menemukan harta itu! Maka tentulah kau akan mati pula di atas harta itu, sedang hidup telah menyelinap pergi sebelum kau mencapai tujuan mulia yang setidak-tidaknya telah kausadari pula. Cinta akan emas ialah ciri mereka yang tak beriman. Ia yang membuat berhala emas ialah kembaran Thare.1 Bukankah kau barangkali ingin menjadi pengikut As-Samiri dari bangsa Israil yang membuat anak lembu dari emas? Tidakkah kau tahu bahwa barangsiapa telah dirusakkan akhlaknya oleh cinta akan emas, maka seperti mata uang palsu ia akan bertukar wajah dengan yang serupa tikus, pada hari kiamat nanti?"

12. Burung Gereja
Lalu datang Burung Gereja, berbadan lemah dan berhati lembut, gemetar, seperti nyala api, dari kepala hingga kaki. Katanya, "Aku termenung bingung dan patah semangat. Aku tak tahu bagaimana mesti hidup, dan aku rapuh bagai rambut. Tak ada yang akan menolong diriku dan aku tak bertenaga sekuat semut pun. Aku tak mempunyai bulu halus maupun lar1 -sedikit pun tidak. Bagaimana mungkin makhluk lemah seperti aku ini berusaha mendapatkan Simurgh? Burung Gereja tak akan sanggup berbuat demikian. Tak kurang mereka di dunia ini yang mencari persatuan itu, tetapi bagi makhluk macam aku ini, itu tak selayaknya. Aku tak ingin memulai perjalanan sesusah itu untuk mencari sesuatu yang tak mungkin kucapai. Jika aku mesti berangkat menuju ke istana Simurgh, aku akan binasa di jalan. Maka karena aku sama sekali tak layak untuk berusaha ke arah itu, aku pun akan merasa puas di sini mencari Yusufku di sumur ini. Jika aku dapat menemukannya dan menariknya ke atas, aku akan terbang membubung bersamanya dari ikan ke bulan."
Hudhud menjawab, "O kau, yang dalam kehilangan harapan kadang bersedih dan kadang gembira, aku tak akan terkecoh oleh alasan yang dibuat-buat ini. Kau sedikit munafik. Juga dalam kerendahan hatimu kau memperlihatkan seratus tanda keriyaan dan kesombongan. Tak usah bicara lagi, jahit bibirmu dan langkahkan kaki. Jika kau terbakar, kau akan terbakar bersama yang lain-lain. Dan jangan bandingkan dirimu dengan Yusuf!"

13. Perdebatan antara Hudhud dan Burung-Burung
Kemudian segala burung, satu demi satu, menyatakan alasan-alasan yang tak bijak. Kalau tak kuulangi semua itu, maafkan aku, pembaca, sebab akan kelewat panjang. Tetapi bagaimana dapat burung-burung demikian berharap akan mengebat Simurgh pada cakar mereka? Maka Hudhud pun melanjutkan bicaranya:
"Ia yang memilih Simurgh bagi hidupnya sendiri harus melawan dirinya sendiri dengan berani. Jika urat tembolokmu tak dapat mencerna sebutir gandum pun, bagaimana kau akan ikut serta dalam pesta sang Simurgh? Bila kau ragu-ragu dengan seteguk anggur, bagaimana kau akan minum sepiala besar, o bayangkara raja? Jika kau tak memiliki tenaga sebutir zarrah, bagaimana kau akan menemukan khazanah surya? Jika kau dapat terbenam dalam setetes air, bagaimana kau akan dapat meninggalkan dasar laut ke puncak langit? Ini bukan wangian biasa; dan bukan pula tugas bagi dia yang tak bermuka bersih."
Setelah burung-burung merenungkan pembicaraan itu, mereka pun berkata lagi pada Hudhud, "Telah kaupikul sendiri tugas menunjukkan jalan pada kami, kau yang terbaik dan terkuat di antara burung-burung. Tetapi kami lemah, tanpa bulu halus maupun lar, sehingga bagaimana kami akan dapat pada akhirnya sampai ke hadapan Simurgh Yang Mulia? Kalau kami sampai juga ke sana, tentulah suatu keajaiban. Ceritakan pada kami tentang Wujud yang menakjubkan itu dengan suatu tamsil, atau, karena sebuta ini keadaan kami, kami tak akan mengerti samasekali rahasia ini. Jika ada suatu pertalian antara Wujud ini dengan diri kami, tentulah akan jauh lebih mudah terperikan bagi kami. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, ia mungkin dapat dibandingkan dengan Sulaiman, dan kami dengan semut-semut yang meminta-minta. Bagaimana dapat serangga di dasar sumur memanjat naik ke tempat Simurgh yang besar? Akankah kebangsawanan teruntuk bagi pengemis?"

Jawab Hudhud

Hudhud berkata, "O burung-burung yang tak bercita-cita! Bagaimana cinta akan bersemi indah di hati yang tak punya kepekaan rasa? Mengajukan pertanyaan seperti ini, yang seakan memaafkan kalian, tak akan ada gunanya. Siapa yang bercinta berangkat dengan mata terbuka ke arah tujuannya seraya membuat hidupnya sebagai barang permainan.
Ketika Simurgh mengejawantahkan dirinya di luar tabir, gemilang bagai matahari, ia menimbulkan ribuan bayang-bayang di bumi. Ketika ia melemparkan pandang pada bayang-bayang ini, tampaklah di sana burung-burung begitu banyaknya. Begitulah beragam jenis burung yang terlihat di dunia ini hanyalah bayang-bayang Simurgh. Maka ketahuilah, o burung-burung yang bodoh, bahwa setelah kalian mengerti akan ini, kalian pun akan mengerti pula dengan sungguh-sungguh pertalian kalian dengan Simurgh. Renungkan rahasia ini, tetapi jangan singkapkan. Ia yang memperoleh pengetahuan ini tenggelam dalam kemaharayaan Simurgh, sungguhpun ia harus tak menganggap bahwa dirinya Tuhan dalam hal itu.
Bila kalian menjadi seperti yang kukatakan itu, tidaklah akan berarti bahwa kalian Tuhan, tetapi kalian akan terendam dalam Tuhan. Adakah makhluk yang terendam demikian menjadi berubah wujudnya? Bila kalian mengetahui bayang-bayang siapa kalian ini, maka hidup atau mati tak akan menjadi soal bagi kalian. Seandainya Simurgh tak hendak mengejawantahkan dirinya, tentulah ia tak akan mengembangkan bayangbayangnya; seandainya ia ingin tinggal tersembunyi, tentulah bayang-bayangnya tak akan tampak di dunia ini. Segala yang ditimbulkan oleh bayang-bayangnya menjadi tampak di mata. Jika jiwa kalian tak serasi untuk melihat Simurgh, tak akan pula hati kalian menjadi cermin yang terang, yang serasi untuk memantulkan bayang-bayangnya. Benar bahwa tiada mata yang mampu merenungi dan mengagumi keindahannya, tiada pula itu bisa dimengerti dengan pikiran: tiada yang dapat merasai Simurgh seperti ia merasai keindahan dunia ini. Tetapi dengan kemurahannya yang berlimpahan ia telah memberi kita sebuah cermin yang memantulkan bayangannya sendiri, dan cermin ini ialah hati. Tinjaulah ke dalam hati kalian, dan di sana kalian akan melihat bayangannya."

Monday, September 14, 2009

Aku Dia Anu

Seorang laki-laki yang terlalu sinting di kampungku yang bernama Aku, suatu hari pergi ke acara tujuhbelasan. Dengan memakai pakaian terbaiknya, kaos Snoopy dan celana berwarna kuning “genjreng-genjreng”, tentu saja Aku menyita perhatian khalayak di pusat keramaian itu.

Sementara orang-orang yang ikut lomba tujuhbelasan beraksi, Aku menyorakinya, berteriak-teriak, bahkan memaki-maki.

Ketika melihat lomba panjat pinang, Aku berteiak, “Huuu…. Nggak ekstrim! Kalau mau ekspresikan kekuatan, jangan panjat pinang, tapi panjat pedang, dong!” Lalu melihat lomba makan kerupuk, berteriak lagi, “Orang merdeka, kok makannya kerupuk? Digantung lagi! Yang ngadain acara pasti imperialis! Menjajah moral secara halus! Imperialis makhluk halus!”

Begitulah sampai akhirnya setelah satu jam berteriak seperti orang kerasukan roh jahat, Aku capek juga. Ketika Aku bersandar kelelahan di sebuah pohon yang teduh, seorang gadis menghampirinya.

“Dari tadi kamu berteriak. Nggak malu, ya?”

Mendengar suara seorang gadis yang di telinganya terdengar begitu sinis dan angkuh, Aku hanya diam. Dipandanginya gadis cantik yang mengenakan kostum panitia itu, wajahnya tampak berang, tapi Aku hanya acuh.

“Kalau hanya ingin mengganggu jalannya acara ini lebih baik kamu pulang saja.”

Aku tiba-tiba berdiri. Marah.

“Beginikah tanah merdeka? Orang-orang diusir karena menguraikan suatu kebenaran!? Oh Indonesia… nasibmu…”

“Maksudku bukan begitu,” ujar gadis itu tetap dalam nada sinisnya. “Sebaiknya kamu jangan merusak jalannya acara ini. Karena ulah kamu, banyak peserta jadi pergi. Panitia sudah pusing-pusing dan hancur-hancuran untuk menyelenggarakan acara, jadi tolong, plis, jangan mengganggu!”

Dasar sinting. Walaupun ditegur baik-baik, Aku tetap saja tidak bisa memperlihatkan kelakuan yang wajar. Segera Aku mempertontonkan kesintingannya.

“Nama saya Aku, seorang eksistensialis individualis anarkis, seorang jenius, filosof, politikus, jago debat, sastrawan berbakat, seniman handal, kritikus macam-macam hal, dan seorang yang paling waras di kampung ini. Pendek kata, saya seorang yang multi talented.”

“Trusss..?”

“Tadi saya heran melihat realitas yang terjadi barusan. Bagi saya, acara tadi kurang idealis. Yang buat acara ini siapa? Kamu, ya?”

“Iya. Saya dan rekan-rekan sesama panitia.”

“Nama kamu siapa?” tanya Aku sambil mengulurkan tangannya.

“Dia.”

“Siapa? Diah?”

“Dia tanpa H.”

“Lengkapnya?”

“Dia Doang binti Waras.”

“Aneh.”

“Kenapa?”

“Nama saya Aku, kalau kamu Dia. Aneh sekali. Kebetulan yang menyenangkan. Aku suka. Untuk merayakan perkenalan ini, bagaimana kalau saya mengajak kamu jalan-jalan. Nanti ditraktir. Setuju tidak?”

Dia, gadis itu, hanya diam. Dikeluarkannya kotak kosmetik dari dalam bagnya, bercermin, dimasukkan kembali, lalu menghela nafas.

“Buat apa saya ikut dengan kamu jalan-jalan?”

“Nggak terlalu penting, sih. Biasa saja. Saya cuma ingin agar kamu bisa pacaran dan akhirnya menikah dengan saya. Soalnya kamu cantik sekali.”

Dia terkejut. Tak menyangka Aku akan ngomong seperti itu.

“Dasar sinting! Norak! Kerbau butut sialan! Pintar-pintar gila! Ternyata benar yang barusan dibilang teman saya.” Kini marahnya mau meledak seperti gunung vulkanik yang terbangun.

“Teman kamu bilang apa?”

“Mereka minta agar saya jangan mendekati kamu. Tapi saya ngotot, soalnya dari tadi kuping saya panas gara-gara ocehan kamu. Mereka bilang kalau kamu ini sinting, tidak punya malu!”

“Tidak peduli bilang apa mereka! Saya memang sudah tidak punya malu lagi. Bagi saya, malu, gengsi, atau apa pun itu, hanyalah milik orang-orang feodalis. Sedangkan prinsip saya: Aku benci kata-kata yang tidak diucapkan! Makanya saya tidak usah malu mengucapkan yang seharusnya diucapkan dan apa yang saya inginkan.”

“Sudah-sudah. Lebih baik kamu diam atau sekalian pulang saja! Saya masih sibuk. Banyak kerjaan. Pusing ngomong sama orang gila, bisa bikin gila juga.”

Kemudian Dia meninggalkan Aku. Sepeninggal Dia, penyakit epilepsi Aku kumat lagi. Aku kejang-kejang selama dua jam hingga adzan maghrib berkumandang. Tapi tak ada yang peduli. Dia pun juga tak peduli.

Setelah dilanda kejang-kejang selama dua jam, Aku langsung pulang ke rumahnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Anu, tetangganya, memanggil Aku.

“Hai Aku. Sini dulu!”

“Ada apa, Anu?”

“Dengar-dengar, tadi kamu kumat lagi, ya? Penyakit begitu kok kambuh di depan umum. Apa kamu nggak punya malu?”

“Malu? Buat apa malu? Divonis apa saja, dituduh apa saja, dicap apa saja, saya nggak usah malu, karena memang tidak punya lagi. Dan memangnya malu itu berguna bagi saya?”

“Dasar kamu sinting! Bodoh! Kalau kamu punya malu, image kamu bisa beda. Terus penyakit epilepsi kamu tidak akan kambuh lagi bila kamu sudah punya malu.”

“Wah, bagus juga, tuh. Kalau begitu saya bisa dapat malu darimana?”
Anu, tetangganya Aku, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya berupa batu kerikil kecil berwarna hitam dan sebuah buku saku yang sudah lusuh.

“Ini malu beserta buku panduannya,” kata Anu sambil menyerahkan batu kerikil kecil “malu” itu beserta sebuah buku kepada Aku. “Ambillah!”
Aku mengambilnya, lalu bersorak kegirangan.

“Hore! Sekarang Aku sudah punya malu.”

* * *

Tiga bulan kemudian Aku sudah berubah total akibat “malu” pemberian Anu. Sekarang sifat Aku tidak lagi sinting seperti dulu, akan tetapi sangat waras dan angkuh seperti Dia. Setiap orang yang diajaknya berbicara akan kejang-kejang epilepsi selama dua jam.

Tak ada yang tahu siapa yang bersalah hingga semua orang kejang-kejang di cerita ini.

Apakah penulisnya yang bersalah?

Aku?

Dia?

Anu?

Atau mungkin Kau?

Angin ini

Aroma apa yang Engkau sertakan bersama hembusan angin ini, Tuhan?
Akankah ia bercerita tentang kesejukan?
Ataukah ia datang mengusap rambutku
sebagai pesan keselamatan dari-Mu?

Ketika angin ini menyentuh kulitku, aku tersenyum damai.


Duh Penyelamat, angin bagaikan tentara-Mu yang menusukku dengan pedang lembutnya
Apakah Engkau sedang mengajarkanku tentang nama-Mu di balik angin ini?
Ah, semoga saat ini hatiku sedang ingin belajar

Apakah ini pertanda hati-Mu sedang riang hari ini?
Keceriaan apa lagi yang terjadi di rumah-Mu?
Ataukah angin ini sengaja Engkau kirimkan untuk menjemput doa-doaku?

Ketika angin ini menyentuh kulitku, aku tersenyum damai.

Tuhan, datanglah!

Biarkan seluruh air mataku habis mengering setelah mengalir terlalu banyak dalam tangisan malamku ini, Tuhan. Biarkan air mataku tumpah membebaskan dirinya untuk membuktikan kerinduannya pada-Mu. Biarkan saja, karena malam ini semua jalan telah kukosongkan untuk kita berdiri berhadap-hadapan.

Dukaku yang meruah di persimpangan jalan menitipkan pesan pada-Mu. Kutahu dosa-dosaku terlalu banyak dan aku tak berhak meminta apapun selain pengampunan-Mu, tapi cintaku berontak dan berkata: “Aku hanya menginginkan Engkau, utuh-utuh. Tak lebih dari itu.”

Aku tahu bahwa bahkan surga pun tak pantas untukku, tapi nada-nada fortessimo yang dipetik oleh jemari halus dalam dawai hatiku hanya mengalunkan melodi cinta untuk-Mu. Maka biarkan musiknya tetap mengalir agar seruan ini menggema di setiap sudut-sudut kota yang lengang.

Biarkan kegilaan ini bersenandung dalam ujung ketertatihan pencarian kesejatiannya. Biarkan ia mengakui semua apa yang ada di dalam dirinya sepenuh kejujuran. Biarkan ia menarikan langkah dansanya yang terbaik dalam pertunjukan kudus cintanya di teater pemujaan-Mu yang agung. Biarkan racun keegoisan di cawan perak dalam hatiku tumpah habis agar Engkau bebas mengisinya dengan anggur cinta dari piala emas-Mu.

Kekupu yang beterbangan beserta dayang-dayang bermahkota daun salam itu pun telah kuusir dari pekarangan hatiku. Kini kamar hatiku kosong dan aku menanti-Mu sepenuh kerinduan di pintu gerbang altar cintaku yang sepi.

Datang, datanglah karena aku hanya menginginkan Engkau.

Kursi

/1/

Semenjak apatah ku letak diri sebagian pada papan roba wujud. Ku lekuk di lelikuk kelak tertekuk ketuk dan ku pun duduk. Sebegitu fanatiknya pada uk! mabuk

'Kulah manusia
yang jemarinya cerewet meracau-rapu, tak diam berpindah dari tuts ke tuts, tab ke tab, space ke enter, akumulasikan nominal-alfabet mati, bangkitkan dalam lelarik elektronik, mengubur jengah di browser internet, dan meniupkan selayang ruh pada logam konektor harddisk. Save and exit

"biasanya, kursi tak punya omong."

Pendar-pendar layar laptop, (kan kubanting saja kalau kumarah), pendekar-pendekar kata, dan sebungkus rokok seperti biasa, dan etalase toko ku kaca, dan diam dari si gila, dan terngiang yang tadi mengancamnya, dan sekelebat takutku 'kan parangnya. Semua di hari ini. Setengah jam, sepuluh jam, bagai naga tidur, duduk terus tak ku rasa.

"tak rasa, kursi tak ku hirau."

/2/

penat
dudukku
penat

penat
hatiku
penat

/3/

Siapa tahu wujud
kursi tuhan?
Serupa tripodkah berpenyangga mur besar, 60 centi dari tanah, berbalut logam tipis kena tempa, tanpa bantalan sandar punggung, beralas kain polyester tebal warna merah, ruasnya tak lebih dari tiga jengkal?

Barangkali kursimu kursiku pada Kursi Tuhan senilai paralelnya inkarnasi Yesus pada patung porselen Kristus yang dikuduskan di katedral
yang salib itu sakral, yang roti itu daging, yang anggur itu darah: rekaan para bocah vatikan, oh betapa kudusnya kefanatikan!

Pertanyaan: "Jika kursi Tuhan dan kursi kita sama-sama kursi, mestilah ia berhala! Jika tak begitu, oh Nicea, sepantasnya kursi jadi satu-satunya benda kanonik tak berdefinisi!!"

/4/

"biasanya, kursi tak punya omong."

"biasanya, kursi tak kita hirau."

Sunday, September 13, 2009

Kitab kupu-kupu

Tersebutlah nama Tuhan! Maha Pengasih dan pula Maha Penyayang.

Inilah kitab. Dan kupu-kupu itu, ialah pertanda tentang Cinta betapa memabukkan.

Ceritakanlah padanya kisahmu agar dunia belajar! Maka inilah kisah agar dunia belajar! Beritakanlah padanya pesanmu agar dunia mengenal! Maka inilah kisah agar dunia mengenal!

Inilah doa-doa sang pemilik sayap terindah. Bijak dengan sebijak-bijaknya. Mabuk dengan semabuk-mabuknya. Dan cinta yang sepenuhnya. Maka inilah doa-doanya.

Bacalah! Inilah kisah kupu-kupu.

Tersebutlah sebuah kota yang tak jauh dari hati manusia. Sebuah kota yang dihuni oleh seluruh harapan suci manusia. Setiap harapan itu menjelma menjadi seekor kupu-kupu. Dan sudah ada banyak kupu-kupu yang terlupakan oleh pemiliknya yang hidup di kota itu.

Seekor kupu-kupu yang tetap disenandungkan baginya doa-doa dan mimpi-mmipi oleh seorang pemiliknya, kini telah bangkit. Di antara seluruh kupu-kupu, hanya ialah yang berbahagia. Maka dari itu dengarlah kisahnya.

"Aku memuja nyala api dan nyala api itu kucintai sebagaimana kupu-kupu yang lain mencintainya. Tapi doa-doa yang disenandungkan untukku bagaikan rentak asmara dari dawai-dawai sitar yang diiringi oleh tabuhan gendang kerinduan. Aku memuja nyala api dengan senandungku. Dan aku sedih karena itu adalah senandung dari kekasih yang tak melakukan apa-apa untuk yang dicintainya.

Aku akan tetap bernyanyi dengan laguku. Akulah pemilik jemari lincah yang memainkan musik-musik yang mendamaikan hati manusia. Dan aku selalu membagi sayap-sayap harapanku dengan rela kepada manusia. Mengapa harus aku membaginya dengan nyala api?

Aku terbuai arus dan terbawa kesedihan yang amat dalam. Aku merindukan nyala api itu, namun aku ragu terbakar. Aku masih dapat merasakan panasnya.

Jiwaku adalah gelora dan gelombang. Setiap nafasku hanyalah berkisah tentang api yang kucintai. Dan semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku teringat padanya. Api itu telah mengambil hatiku dan membakar seluruh cintanya hingga asmaraku berkobar.

Inilah kitab asmaraku. Kitab seekor kupu-kupu yang mencintai nyala api.”

Bila saat itu tiba, keresahan memuncak dalam hati sang kupu-kupu, dan tak terhankan pulalah kerinduannya. Maka masuklah kupu-kupu itu di kuil api. Dan disana dia melihat nyala terang itu.

Berkata Kupu-kupu, “Aku melihatmu berdiri di pintu emas. Kau bawakanku cahaya terang dalam sumbu angkasa. Kau terangi langkahku menuju titik kecerahan. Dan akupun menjadi legenda”

Berkata Api, “Cahayaku! Kau adalah cahaya kasihku. Membantu aku untuk bangkit. Dan berlari mendekap jiwamu. Agar kau lebur larut sebagai cahaya.”

Berkata Kupu-kupu, “Kukatakan tidak! Aku adalah gelap dan selalu gelap! Mengapa kau menawarkan cahaya sedang takdirku telah berhenti? Mereka yang berkata bahwa kegelapan bisa menyembunyikan apapun kecuali cahaya telah berbohong! Kegelapan hanya menyelimuti dirinya sendiri! Langkah Tuhan dalam hatiku begitu kelam. Mengapa kasih harus menjadi bagian dari dalam diriku? Aku menjadi legenda karena aku satu-satunya kupu-kupu yang tak menerima cahaya!”

Berkata Api, “Katakan saja kau malu mengakuinya. Tahu apa kau tentang dirimu yang kalut!?”

Berkata Kupu-kupu, “Kau tahu aku dan gelap adalah satu. Dan aku hanya tahu bahwa aku sedang kalut. Mungkin bibir ini tak punya alasan untuk itu. Tapi aku terlalu muda untuk kesepian dan terlalu cantik untuk menangis. Maka kemanakah aku harus berlari?”

Berkata Api, “Akulah cahaya keabadian yang menyala tanpa sumbu kesadaran. Kau telah memilih! Apa yang kau cari? Rindu? Kasih? Cinta? Atau diriku? Hei… lihatlah! Dalam kerinduanmu ada nyalaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Seperti kebohongan saja. Apa gunanya memilih tanpa kesadaran? Aku hanya ingin tetap seperti dulu. Aku tetap ingin menjadi diriku yang hanya satu. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku nyata. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku bersayap. Bila aku bercermin maka aku sadar bahwa aku ada. Tapi hanya cermin yang dapat kupercaya.”

Berkata Api, “Cermin itu adalah gambaran jiwamu yang sedang menatap keabadiannya. Keabadian yang membawamu lahir untuk dunia untuk cinta dan untuk mencipta dan untuk sadar bahwa ada Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Mengapa seseorang harus mengenal Aku? Mengapa seseorang harus mencari Aku? Apa itu Aku? Siapa itu Aku? Mengapa Aku harus mencari jawaban atas semua itu?”

Berkata Api, “Dengan terangku aku menyala. Dengan kepak sayapmu engkau terbang. Begitulah Aku bekerja. Aku adalah jati dirimu. Aku adalah kesadaranmu. Aku adalah kekasihmu, Aku adalah matimu. Aku adalah akhirmu. Aku adalah kebijakanmu. Aku adalah cahayamu. Dan kukatakan dengan jelas, Aku adalah api yang menyala di hatimu. Laksana sebuah mitos tentang bagaimana kau melihatku, bila mimpi dan suasana itu telah hilang dalam semangatmu, maka musnahlah Aku.”

Berkata Kupu-kupu, “Jangan ucapkan kata-kata terakhir itu. Baiklah aku mengaku, aku tetap mencintamu. Namun aku akan menjadi gila karena cinta ini. Jika aku adalah segalanya, mengapa aku mencipta sekaligus dicipta? Inikah kebingungan? Inikah dunia? Aku berkata: betapa gila dunia ini dan betapa gila diriku yang memilih hidup di dunia ini!? Katakan padaku, mengapa Aku memilih karena ada Engkau?”

Berkata Api, “Apa yang kau sebut gila? Cukup sadari saja bahwa kau adalah percikan cahayaku!”

Berkata Kupu-kupu, “Hari ini aku telah menemuimu. Dan di dalam dirimu tak ada sesuatu kecuali dirimu. Walau aku tahu bahwa aku pun adalah aroma sucimu.”

Berkata Api, “Apa yang aku sebut gila? Bukankah alam semesta berjalan seperti dengan kegilaanku? Kau adalah nyanyianku, satu dengan penyanyinya. Maka tak ada lagu tanpa penyanyi.”

Berkata Kupu-kupu, “Apakah ini berarti jika lonceng tanpa gema maka ia bukan lonceng? Betapa naïf? Mengapa api harus bernyanyi? Mengapa kepak sayap harus menjadi lagu? Ah, mungkin aku tak akan pernah tahu. Bahkan telingaku pun tak sanggup mendengarnya.”

Berkata Api, “Memangnya kenapa jika ini begitu naif? Memangnya kenapa jika ini terdengar sombong? Aku tahu bahwa kau punya kerendahan hati. Tapi buat apa menghindar dari kenyataan? Jika lagu adalah lagu, maka api adalah api. Sedang kau memiliki api itu dalam hatimu. Haruskah aku berkata, ‘Hei! Kembalikan milikku!?’”

Berkata Kupu-kupu, “Tapi…”

Berkata Api, “Tetapi apa? Aku punya hak untuk bernyanyi. Aku ingin memiliki diriku sendiri. Aku ingin mengalami diriku yang berada di luar diriku. Apakah itu salah? Aku adalah api, dan aku ingin api itu. Dengarkan sajalah apa yang diinginkan hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Bila aku mendengarkan, maka ada doa yang terjalin. Bila aku melihat, maka ada cahayamu di sana. Bila aku beranjak, maka hatiku akan berkobar. Sejujurnya hati ini adalah apimu. Maka tataplah apimu sendiri!”

Berkata Api, “Maka kembalilah! Aku sudah risau menunggu. Peluklah aku dan sentuh diriku dengan asmaramu. Akan kuperlihatkan kenyataan yang sebenarnya. Pulanglah!”

Berkata Kupu-kupu, “Aku malu untuk pulang! Aku adalah kekasih yang begitu merindu namun tak punya apa2 untuk menyejukkan sayapku dalam api. Dan begitulah aku melihatmu. Engkau adalah pembawa cahaya terang dari sumbu angkasa, berdiri di pintu emas, namun aku tetap bersembunyi dalam kegelapan diriku. Jangan bertanya padaku tentang kekalutan, aku adalah kekalutan itu sendiri. Jangan pula mengajakku untuk pulang! Aku telah terbiasa dengan kesendirianku.”

Berkata Api, “Lalu kapan lagi? Kapan kau percepat hari itu? Hari di mana cinta terbukti. Namun jika kau masih ingin terbang, terbanglah! Dan jika kau masih ragu, berpikirlah! Aku akan tetap menyala untuk sayap-sayap rapuh yang rela membakar dirinya dalam apiku.”

Berkata Kupu-kupu, “Maka dengar saja syairku; syairku adalah kerinduanmu. Dengar saja seruling perakku; senandungnya adalah keheningan. Dan lihat saja wajahku di pantulan rembulan di danau yang tenang; akan rembulan selalu kujadikan cermin untuk melihatmu yang menyala di kuil penungguan. Maukah? Siapkah? Jika tidak lebih baik cabik-cabik aku sekarang!”

Berkata Api, “Akulah yang memberimu hati itu hingga kau yang memilih. Bukan aku yang di sini. Dan hati itu akan menyala dan bersamamu, hanya saja tanpa melukai dirimu.”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu cabik-cabik saja aku! Aku bahkan tak punya sayap yang dapat mengepak lagi tanpa datang kehendak dari dalam hatiku!”

Berkata Api, “Betapa sombongnya engkau memiliki sayap itu. Tahukah kau terkadang tangan punya pikiran sendiri hingga ia memukul bukan dengan kehendakmu? Dan tahukah kau bahwa terkadang kaki punya kehendak sendiri hingga ia berjalan bukan dengan kehendakmu pula? Bila hatimu telah dikuasai oleh api, maka kau hanya mampu merasakan nikmatnya terbakar!”

Berkata Kupu-kupu, “Kekasih macam apa kau? Engkau membunuhku dengan hatiku sendiri!”

Berkata Api, “Kekasih macam aku! Aku membunuhmu dengan kemilau api yang ada di hatimu!”

Berkata Kupu-kupu, “Andai saja kau berkata tidak, alangkah lebih baik bagiku! Ingin sekali kukatakan padamu kata-kata ini: "Terserah!!!! Bahkan bila kau tak ingin ada namamu dalam syairku! Telah enggan aku hilang hasrat melihat geloramu! Tapi bila kau butuh manfaatkan aku, manfaatkanlah! Karena aku masih kepakan ajaib itu. Namun engkau membunuhku. Kekasih macam apa kau!? Salahkanlah dirimu!”

Berkata Api, “Aku membunuhmu dengan cinta. Jika bukan aku siapa lagi yang harus?”

Berkata Kupu-kupu, “Salahkan saja dirimu! Aku terlalu rapuh untuk dibunuh dengan cinta. Namun itulah yang selalu kuinginkan. Tak ada yang lebih kuinginkan selain itu. Engkau rela melakukannya. Dan keikhlasanmulah yang membuatku malu menghampirimu!”

Berkata Api, “Bukankah itu suatu nikmat; terlahir sebagai benih yang membara dalam rupa seekor kupu-kupu?”

Berkata Kupu-kupu, “Tidakkah kau kasihan padaku? Dulu aku karang dan tak goyah. Aku menyembunyikan kemarahan bagaikan kubah salju yang menatap perahu amarah berlabuh di laut ketika senja kala mentarinya sedang sebesar koin. Semua selaras dalam bahasa alam yang kaku. Semua menyapaku. Seperti angin ini. Dan aku bisa bertahan. Mengapa kau datang membawa cahaya terang itu di depan mataku? Hey… tiba-tiba hatiku merindukanmu. Salahkan saja dirimu!”

Berkata Api, “Mengapa aku harus menyalahkan diriku? Sedangkan akulah angin itu! Akulah yang menghembuskan nafasku. Mengapa aku harus menyalahkan diriku yang menyelimuti setiap dirimu? Bukankah yang kau inginkan itu tetap satu?”

Berkata Kupu-kupu, “Jika begitu tunggu apa lagi? Bercintalah denganku sekarang juga! Cumbu aku dan pergunakan seribu kilauanmu untuk merayuku. Karena aku tak memiliki diriku sendiri. Tak seorangpun pernah kecuali dirimu.”

Berkata Api, “Bukankah aku sudah mencumbu jiwamu sejak kau menjadi laguku?

Berkata Kupu-kupu, “Tapi aku inginkan lebih! Aku ingin terbakar dengan api. Bukan dengan lagu.”

Berkata Api, “Jika begitu berhentilah bersyair dan jangan berpikir apa-apa. Bila pikiranmu masih menancap dalam dirimu, maka bukan hatimu yang akan merasakan nyalaku. Biarkanlah cintamu datang dari hati lalu naik menjalar di seluruh tubuhmu. Biarkan kau merasakan apa sebenarnya sentuhan itu. Lalu bakarlah dirimu dengan apiku dengan masuk ke dalamku. Jika kupu-kupu benar-benar mencintai nyala api, maka dia harus membakar sayapnya! Lakukanlah segera!

Chitra

O Pohon Chitra. Roh suci yang bernaung di bawahmu adalah seorang wanita yang dahulunya selalu menjaga kesuciannya. Semasa hidupnya dia tinggal di sebuah tempat di mana manusia tak bisa melepaskan kekejamannya dan kebengisannya. Dan wanita itu bisa mempertahankan kesucian, harga diri, dan kelemah lembutannya tanpa terpengaruh dari kehidupan dunia. Baginya dunia bukanlah belenggu, akan tetapi sebuah titian. Dengan keyakinan dia hidup, dan dengan keyakinan itu pulalah dia wafat.

Dan kini dia adalah roh yang pertama yang harus dijumpai setiap pengunjung taman roh suci ini. Dia dengan matanya yang sederhana, dan wajahnya yang penuh kasih sayang, menyambut Sang Penyair dan muridnya. Hanya dengan menyentuh auranya, Sang Penyair dan muridnya menjadi tentram dan merasa betah berada di bawah Pohon Chitra. Mulailah salamnya, maka dengarlah! Karena ini adalah yang pertama kalinya.

“Salam bagi kalian. Salam. Dan turunlah dengan pita pelangi yang tanpa ragu setelah kalian berkelana sepenuh kelelahan. Salam bagi kalian aku sampaikan.

Salam untuk sarwa sekalian alam.

Akulah Chitra dan begitulah mereka biasa memanggilku. Akulah yang pertama dan akulah satu-satunya wanita yang duduk di bawah pepohonan di taman para roh suci. Apa yang kalian bawa padaku hari ini, yaitu wajah-wajah kalian adalah sebuah anugerah senyuman di wajahku.

Ketika itu aku dipilih oleh Tuhan untuk menjadi dewi yang menyuburkan dunia. Inilah pertanda kasih sayang Tuhan. Aku terima takdirku dengan wajah bahagia dan tanpa pura-pura. Namun sungguh manusia begitu berlebihan, mereka menyembahku dan melupakan siapa yang menciptakanku. Namun aku tak punya kekuatan untuk menyakiti hatiku sendiri. Harus kukatakan pada diriku untuk menerima dan belajar tentang makna. Kodrat itu harus dijalani. Betapa Tuhan selalu mempunyai rencana yang tersembunyi.

Sebagai Dewi Kesuburan aku melakukan pekerjaanku dengan riang. Aku selalu memilih jubah para gadis desa yang sederhana. Dan yang datang dari kota akan memilihnya, aku sering tak berada di sana bila prosesi itu terjadi. Aku selalu berlari dari hati yang menyimpan niat buruk dan diselubungkan. Buhul kerianganlah sebagai tali yang selalu aku pegang, maka tak ada lagi yang lebih baik bagiku selain mengikuti permainan angin.

Aku menjadi pertanda ketika akan datang kebahagiaan para petani. Akulah Dewi Kesuburan, tapi panggil dzatku yang pernah bernama Citra sebagai Chitra. Sungguh aku lebih menghargai apa yang lebih baik bagiku.

Kesederhanaan, ialah langkahku yang abadi. Aku gemerlap dalam lingkupan gaunku. Tapi hatiku selalu tetap menudukkan kepala. Aku mengingat dan menyanyikan kerinduan Tuhan pada diri-Nya. Dan setiap kali aku melakukannya, aku semakin tahu bahwa aku yang menjadi busur panah dalam penciptaan.

Aku bukanlah seruling yang membuat dunia ini merona, tetapi aku nadanya. Aku mencintai kejadian ini. Dan apa yang berlaku padaku, ialah selalunya aku terima dengan rendah hati.

Bila aku merayakan takdirku yang ganda, maka aku tersenyumlah, walau sesekali aku ingin menangiskan sesuatu. Betapa aku sering membutakan mata manusia. Mereka terkadang memandangku sepenuh pesona namun melupakan tentang apa yang terbaik. Seharusnya mereka mencintai yang sepantasnya. Hanya Tuhanlah yang pantas dicinta, bukan aku.

Akulah Chitra, dan aku hanyalah salah satu bukti kasih sayang-Nya.

Maka aku biarkan dunia ini germelap dalam langkahku. Hatiku selalu belajar menerima, dan begitulah aku bersama roh kalian di muka bumi. Aku berjalan dengan kerinduan pada sifat-sifat ilahi. Akulah Chitra. Dan kalian adalah kawan.

Hum…

Akulah Chitra dan tak berbicara hanya dengan lidahku saja. Aku memberikan pemahaman dengan masa laluku. Dan semasa hidupku, akulah titisan imajinasi alam tentang kesuburan. Mereka memanggilku sebagai sang dewi padi, dan terkadang mereka memujaku hingga saat kini. Padahal aku hanyalah malaikat yang tak perlu diberikan persembahan apapun. Tak harus ada sesaji untukku. Biarkanlah Allah yang mendapatkan semua itu.

Akulah Chitra. Aku bernama Citra. Akulah kemayaan yang menyelimuti kekosongan alam. Aku yang menjadikan dunia tak berubah sepi,. Akulah Chitra, dan aku menyebut namaku sepenuh rendah hati.

Tapi semua hal pernah diberikan kesempatan untuk memilih, tak terkecuali gunung-gunung ataupun bintang yang berada di langit terjauh. Dan aku pernah meminta agar aku terlahir di dunia kembali sebagai sesosok manusia. Dan Puji Tuhan Yang Maha Mengabulkan Doa.

Hum…

Wahai Sang Penyair, tataplah mataku! Apa engkau tahu... akulah dzat yang pernah hidup dalam diri seorang gadis muda yang bernama Citra. Tataplah aku. Aku adalah dia di kehidupan terdahulu.

Tataplah mataku, dan bahagiah, wahai sahabatku! Betapa engkau sangat mengenalku. Aku datang padamu di setiap bentuk. Aku menyanyikan kerinduan pada hatimu akan adanya wujud yang lebih tinggi pada alam ini. Aku benar-benar telah melakukannya.

Tataplah mataku dan tersenyumlah! Kalian tak mungkin bisa melihatku dengan tatapan birahi, ataupun amarah. Aku terpilih karena aku begitu ramah dengan sepenuh hatiku kepada manusia. Mereka yang mengenalku tak punya hasrat memiliki aku dengan kasar. Dengan auraku, mereka datang padaku sebagaimana aku datang pada mereka. Aku tak punya dendam, tak punya benci, tak punya dengki, tak punya iri, tidak… aku tak pantas memiliki itu. Terlebih setelah hatiku dibasuh oleh para malaikat semasa aku masih di rahim bunda.

Tataplah mataku, wahai sahabatku. Betapa kita selalu bersama. Aku pernah terlahir di dunia ini sebagai seorang gadis yang rapuh. Muridmu dan dirimu pernah mengenalku. Mereka memilihku untuk terlahir ke dunia, dan aku rela menerima itu. Aku menjalani kehidupan manusia dengan sepantasnya. Dan Puji Tuhan kita selalu bersahabat bahkan ketika aku pergi.

Tataplah mataku dan cerialah! Ketika masih gadis, aku menjadi ibu dalam mimpimu dan aku engkau rindukan. Tanpaku, kekasaran dunia akan kau terima sebagai takdirmu. Denganku engkau melawan keburukan dan bertahan di bawah terpaan angin kering yang melanda lahan-lahanmu.

Aku masih tetap sama yang seperti engkau kenal. Aku telah belajar dari kalian dan pada alam ketika aku masih menjadi gadis yang rapuh, bahwa persahabatan, itulah wajahku nanti yang seperti terlihat kini. Maka kuucapkan Salam bagi kalian. karena kalian adalah yang berharga bagiku.

Kalian adalah sahabat-sahabat yang aku rindukan. Engkau pun merindukanku. Aku selalu bertekad untuk tak pernah berubah ketika aku masih menjadi gadis yang belia. Tapi kita terpisah, dan aku merasa sangat kehilangan. Dan di antara hutan aku menemukan diriku yang beranjak dewasa. Aku memendam segenap kehidupan. Betapa manusia perlu mengalami perubahan, maka maafkanlah aku. Sungguh manusia diciptakan dalam kefanaan. Tapi aku tetap memiliki hati yang merindukan kalian yang kusimpan dalam kitab keabadianku. Maka tataplah aku sebagaimana engkau selalu ingin menatapku.

Langkahku susah diterjemahkan dengan syair. Tapi senyumku, ialah puisi yang nyata untuk mendamaikan di matamu. Maka tataplah aku sebagai sahabatmu yang selalu bercakap sepenuh kelembutan.

Aku menjadi keriangan-keriangan dalam batinmu. Aku membisikkan doa-doa dalam ketidaktahuanmu. Sungguh aku hati suci yang begitu tersembunyi. Aku gadis biasa yang bisa bertahan dengan semua itu. Maka terima kasih karena hanya kalianlah yang pernah membuat kemanusiaanku begitu aku syukuri ketika aku sadar bahwa aku hidup di dunia yang kejam.

Betapa aku senang dan bahagia ketika engkau menangis untukku. Akupun ikut menangis bila itu dengan bahagia. Ya! Lalu aku menangis dibalik ketersembunyianku. Dan serupa gadis yang menjaga rasa malu, ketika engkau memberitahuku yang sebenarnya berlaku, aku berlari dengan langkah tersipu. Aku Chitra, dan betapa riangnya aku.

Aku serupa anggur yang meranum di tepi kolam madu. Dan setiap kemabukanku kusaring dengan lentik bulu mataku hinggalah engkau menyesap air suci yang membuatmu menatapku mataku tanpa birahi. Akulah Chitra, aku yang melakukan itu. dan serupa inilah takdirku.

Akulah hentakan yang merasuk dalam lembut. Aku tak pernah menyakiti hatimu. Sungguh aku selalu dibela dengan bungkusan kemanusiaanku. Terlebih seorang sahabat adalah seorang yang bisa menerima yang lainnya bagaimanapun keadaannya. Bukankah kita saling mengajari tentang hal itu?

Kelemahanku adalah sumber kekuatan bagi mereka yang telah merasa kering karena ketidakmampuan mereka sendiri. Akulah kesejukan yang selalu kalian rindukan. Aku begitu lemah, lembut, penuh kasih sayang, ramah, dan selalu sopan setiap kali menghadapi dunia. Aku melakukannya tanpa ragu karena aku telah membiasakan diriku dengan bayanganku sendiri yang apa adanya. Setiap kali aku memandang cermin aku akan bersyukur. Dan dengan itulah caraku agar aku tak gentar membawa kelemahan hatiku.

Dan sekali lagi tataplah mataku! Sebagai roh yang merindukan setiap bentuk kehidupan terdahuluku, aku merindukan semuanya dan aku merindukan kefanaan kita dahulu. Ingatkah engkau pada saat kita menjadi sahabat dan engkau jatuh cinta padaku? Wahai, Penyair. Betapa kodratku ialah untuk menjadi yang terkasih dan tersayang untuk kalian di duniamu. Engkau tak mungkin bisa melihatku sebagai mangsa jika kau serigala. Jika cinta adalah nafsu, engkau tak pantas menerima bayanganku. Akulah Chitra, dan takdirku sebagai manusia adalah menjadi perumpamaan kasih sayang-Nya.

Hum…

Setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, dan aku mengetahuinya lebih awal. Betapa beruntungnya diriku. Tapi itu bukanlah kebetulan; itulah yang kalian akan dapatkan bila kalian berjalan dengan sepantasnya di dunia ini.”

Dan itulah cara roh Chitra menceritakan dirinya.

Lalu Sang Penyair, tahulah dia, bahwa dia tak perlu menundukkan kepalanya di hadapan wanita yang kini sedang berada di depannya. Dan ketika dia melihat Roh Chitra yang duduk bersila di depannya, maka dilihatnyalah wajahnya yang terasa tak asing lagi.


“Puji Tuhan. Betapa Citra selalu seperti itu.”

Maka terberkatilah dia yang duduk dengan jubah kesederhanaan. Memujilah dirimu akan sifat-sifat semacam itu, karena dengan ketiadaan yang menyelimutinya, sesungguhnya di hatinya ada kekayaan yang sejati.

Keselamatan

Puji Tuhan yang memberiku nama Keselamatan.

Mari kawan, berteduhlah di sini, tak ada paksaan bagimu untuk datang, namun inilah tempat yang selalu kalian cari-cari.

Hum. Betapa senang hatiku, betapa riang hatiku. Kalian datanglah ke sini dan saksikanlah wajahku yang mempesona. Tak perlu ada yang kalian lakukan selain melakukan yang kalian inginkan. Namun lakukan itu dengan hati yang suci karena aku tak punya dendam dan aku bermain dengan adil.

Aku berkilah tentang diri-Nya. Dan sabdaku berkisar tentang pengabdian kepada-Nya.

Dengarlah ceritaku wahai kawan. Apakah kalian pernah menemukan wajahku? 'Benar' tentu saja jawabannya. Namaku adalah nama dari setiap agama. Wajahku adalah wajah setiap agama. Dan langkahku adalah langkah setiap agama. Karena itu, panggillah aku sekali lagi ‘Keselamatan’.

Panggil aku Agama, tapi aku lebih senang mendengar Keselamatan. Aku sudah ada sebelum Yang Suci Nan Terpilih lahir ke dunia. Aku ada di setiap benua, di setiap peradaban, dan di setiap masa.

Aku menawarkan kepada kalian segala benda yang dibutuhkan rumah yang ada di balik dada kalian. Semuanya berkilauan, tapi kalian harus memilah. Tak ada keterpaksaan dalam pemberianku. Terimalah, atau tidak. Tuhan tidak mewajibkanku untuk memaksa kalian.

Ketika Tuhan menciptakan aku, Dia memberikan aku perhiasan dan jubah yang rapuh. Kulitku adalah wahyu; begitu halus dan sangat terjaga; namun ketika manusia memolesnya, akan kulitku mengelupas. Bola mataku adalah sabda; mereka yang tak mampu menatapnya kemudian menengok pantulannya di telaga, beberapa yang lain melukisnya kemudian menyembahnya. Suaraku adalah ramalan yang telah melahirkan musik-musik indah; dan begitulah manusia; ada yang mendengar, ada pula yang tuli. Namun aku tetap berdiri untuk manusia, karena aku tahu bahwa kemurnianku terjaga dalam hati.

Kukatakan kepadamu, aku bisa datang dengan sendiriku atau mereka menyebut namaku sambil berdusta. Mereka menganggap dirinya sebagai wakilku di muka bumi, menyerukan namaku dengan mengaku sebagai manusia suci; maka ketahuilah, beberapa di antara mereka adalah musuh yang nyata. Kusadari ini; aku hamba yang begitu lemah. Maka aku selalu bersabar dan seluruh urusan tentang diriku akan kuserahkan kepada Tuhan. Tapi rohku akan tetap suci, karena begitulah Takdir menyebut namaku di Loh Keabadian.

Manusia dapat mengganti jubahku tapi tak dapat menggores kulitku. Kuserukan padamu! Berikan belati! Berikan roti! Berikan anggur! Berikan salib! Berikan dongeng! Berikan api! Berikan berhala! Namun aku tetaplah Keselamatan walaupun kalian mencoba mengganti diriku.

Hampir semuanya yang aku kenakan ialah kebijaksanaan yang dikerjakan manusia. Tolehlah kepada wajah ini dan ceritakan padaku dengan kilahan yang lebih semarak daripada api. Beberapa di antaranya akan kau temukan pelbagai rupa yang lebih buruk daripada wajah binatang; namun jika mata hatimu terbuka, maka pandanglah wajah sebenar dari diriku, karena akan kau temukan yang sejujurnya tentang jalan itu.

Maka inilah kebahagiaan sekaligus kesedihanku. Sekali-kali tiada aku berpaling dari kenyataan yang menimpaku. Sesungguhnya agama itu berada dalam keadaan yang rapuh, tapi nafas Keselamatan akan tetap berhembus.

Ini adalah rohku. Jalan yang dipilihkan Tuhan untuk kalian lalui. Akulah yang dilewati jika kalian ingin mencapai-Nya. Aku adalah salah satu sifat-Nya. Maka demi diriku, mari kita memuji untuk-Nya.

Sebelum terlahir, hatimu pernah kubasuh dengan darahku. Maka biarkan tanganku menyentuhnya sekali lagi agar senandungku hadir bersamamu untuk berjalan. Atau tidak, maka dengan begitu, kau akan selalu mencariku dengan inti hati yang telah dipasang Tuhan kepadamu.

Aku berasal dari kota yang sangat suci. Sebagai yang terpilih di antara para malaikat yang gemilang. Jubahku adalah kecintaan Tuhan. Langkahku serupa wewangian yang tak pernah berhenti memanjakan penciuman kalian. Dan dengan itu, Tuhan memilihkan nama untukku. Betapa aku senang dengan kehormatan ini. Nama Ilahi dibiarkan-Nya berjalan menghampiriku dan memelukku di tempat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Dan di manapun aku berjalan, dan bila aku memandang ke belakang, maka akan kupandang jejakku yang menjadi cahaya sejati di dunia.

Tuhan memberiku kunci menuju pintu-Nya. Maka bagi mereka yang tak mengkhianatiku, akan kubukakan pintu dengan suka rela.

Begitu banyak yang pernah datang. Kisah ini tak akan pernah berhenti. Semuanya jelas! Semuanya adalah wakil Tuhan yang datang untuk menyerukan namaku agar jika kalian mengingatnya, maka aku akan berlari sepenuh kerinduan menghampiri kalian. Sungguh aku adalah tamu yang sangat pantas untuk kalian sambut di mana saja engkau berada.

Berjalanlah di belakangku! Memelukku, ianya jadikanlah tujuanmu! Karena hanya dengan begitu kalian dapat menengok wajah Tuhan yang penuh cinta kepadamu.

Selalulah persembahkan budak setia yaitu para malaikat yang akan menjaga setiap kali kalian menyebut namaku di rumah-rumah tetanggamu, kerabatmu, saudara-saudarimu, dan teruntuk ayah bundamu. Percayakan padaku. Dengan namaku yang mengikut berkah Tuhan di bibirmu, para malaikat akan menjaga, dan tercatatkanlah amalan.

Terlepas dari semua borok-borok yang melekat pada wajah agama, aku tetap pantas untuk diperjuangkan. Akulah Keselamatan, siapa yang mencoba menghindar dariku akan menyesal sepanjang hayat. Kukatakan padamu tentang satu sabda ini, karena aku tetap bersarang di hati yang suci. Manusia selalu berbelok dan berpaling. Padahal jika saja mereka mendengar, para nabi akan tersenyum.

Kukatakan sekali lagi. Aku bersarang di hati yang suci. Aku bagaikan api yang dijaga para raksasa yang hidup di gua. Dan mereka menjagaku dari tangan-tangan manusia yang di hatinya ada rasa iri.

Mereka selalu datang untuk mencoba membawaku agar aku dapat hidup berdampingan dan sejalan dengan kalian di tengah umat manusia. Namun sungguh bangsa manusia benar-benar diciptakan untuk lupa; manusia menyalib, mendera, menggantung, membunuh, merajam, melempari mereka yang di pundaknya membawa kabar gembira – karena manusia hanya mengetahui apa yang mereka alami. Aduhai, semoga pengampunan Tuhan datang kepada mereka, dan aku tetap mencintai manusia karena akulah Keselamatan.

Betapa agama yang sebenarnya hanya diketahui oleh hati yang rahasianya dijaga oleh rahasia dan menyembunyikan yang terdalam. Maka jangan pernah mengeluh jika Yang Terpilih melakukan apa yang tidak pernah kau lakukan. Ikutilah! Sesungguhnya Yang Terpilih telah diberi kekuatan untuk mengetahui rahasia dari segala rahasia.

Biarkan agama menjadi salju di matahari! Biarkan agama menjadi bahtera di gunung! Biarkan agama menjadi kunci di padang! Sesungguhnya mereka tak akan mengerti. Karena apa yang mereka lihat, hanya itulah yang mereka percayai. Kukatakan padamu hari ini, ambillah apa yang lebih baik untukmu!

Agama merupakan jiwa terdalam dari setiap hukum yang berada di dunia. Di manapun kamu berada, di kala telingamu mendengar nada-nada, di kala matamu melihat warna dan cahaya, di kala segala sesuatu menyelimutimu, di sanalah terdapat agama. Agama adalah cahaya dan ia adalah sesuatu yang bergerak. Dan rahasia agama ketika namanya dihilangkan di dalam namanya maka akan terbentuk nama Tuhan. Itulah agama sejati! Itulah agama alam semesta.

Dan panggil aku agama, namun aku lebih menyukai Keselamatan. Aku lahir di dunia ini dalam rupa yang indah. Aku datang padamu di setiap bentuk. Aku turun di malam seribu kilauan rembulan untuk membangkitkan para penyair agar mereka bersajak sepanjang malam. Aku turun dan dibawa oleh para malaikat di malam itu sebagai simbol kekuatan.

Keselamatan, Agama, Kekuatan, itulah namaku. Maka siapa yang menyampaikan aku pada tetangganya, maka aku akan mencelupkan hatinya dalam belanga madu Tuhan.

Maka terberkatilah mereka yang tidak melakukan apa-apa selain membawa cahaya Keselamatan di dunia, dan pula bagi mereka yang tahu bahwa Kebenaran semu yang dipaksakan adalah kejam. Karena sesungguhnya mereka itulah orang yang paling taat beragama dan begitu mencintai tetangganya, lalu mereka tak mendapatkan apa-apa selain berlipat-lipat dari apa yang pernah mereka berikan.