Sunday, June 07, 2009

Shinta




‘Biarkan tangisanku luluh bersama hujan,
air mataku tergenang dalam air,
membasahi kakimu,
menjadi doa dalam langkahmu,
dan bila terik telah tiba, tangisku kan jadi sejuk di hatimu.’


Siang hari dan hujan. Hujannya rintik. Hujan yang seperti itu milik Shinta. Segelas coklat di tangannya sudah dingin. Namun di sela hujan, khayalan Shinta masih menggeliat dalam hangat suasana hati. Diam bersandar di kursi rotan dekat jendela. Angin sepoi berbaur percikan rintik hujan sesekali berhembus melewati sela tirai, hinggap sebagai sekumpulan titik kristal kecil yang mengembun, bertebaran di helai2 rambutnya. Ada kedamaian yang Shinta rasakan setiap kali hujan datang.

Tradisi.

Setiap kali hujan turun, Shinta selalu sempatkan diri untuk menikmati, sekedar untuk mengenang masa lalu. Dan kali ini hampir satu jam. Ada kenangan manis terbayang di hujan ini.

Bagi Shinta, ruang dan waktu tak memiliki bentuk yang selaras seperti garis lurus. Bentuknya tak beraturan. Ada retak dan celah sana sini. Dimana relativitas menjelmakan dirinya dalam bentuk rindu, menggulirkan ingatan dari celah DeJavu. Shinta membiarkan saja retak itu. Buat apa dicegah? Toh dia akan menghukumi mereka yang tak mampu bertahan. Dia tak mau menjadi salah satunya, Shinta biarkan sang waktu bermain. Dan permainan itu kadangkala manis, seperti coklat hangat dikala hujan.

Ah, segelas coklat hangat ditangannya hampir habis. Tegukan terakhir. Sambil menghabiskannya, Shinta teringat satu momen di masa kecilnya bersama Hanif.

Tenggorokannya tercekat, coklat itu rasa pasir.

3 comments:

Anonymous said...

romantis banget

Anonymous said...

Ini kisah nyata gak yah?
Romantis pisan euy. Tapi sebenernya ini puisi sedih khan?

Anonymous said...

bukan plagiat kan?