Neraka adalah sesuatu yang selalu identik dengan suatu kata: Panas! Apa hakikat panas yang memiliki berbagai level? Derajat panas suatu gas tidak lain adalah suatu sifat makroskopik dari gerakan dan tumbukan (friction) trilyun trilyun trilyun… molekul-molekul gas. Ditinjau di alam mikronya, dari tiap molekulnya, temperatur thermal tidak memiliki makna. Yang ada hanyalah energi gerak dari molekul-molekul tersebut. Dan ini secara makro dapat dirasakan oleh indera manusia maupun indera dari suatu alat ukur. Artinya panas itu hanyalah sesuatu yang subyektif.
Inilah yang mendasari Hanif untuk menihilkan neraka dalam tahapan obyektif. Karena panas neraka adalah sesuatu yang subyektif dan aksidental, maka “orang yang benci dan tidak rela” akan memiliki persepsi yang berbeda jika dibandingkan dengan “orang yang segenap cinta dan keikhlasan” ketika mereka disiksa dalam api neraka akibat perbuatannya. Dan perlu diingat bahwa keikhlasan adalah merupakan jalan satu-satunya untuk terbebas dari segala sesuatu yang bersifat “ciptaan” – karena neraka pun adalah ciptaan Allah.
Sebelum menemukan tentang konsep imajinatif dari ruang dan waktu secara subyektif, beberapa tahun lalu semasa masih SMU (senior high school) Hanif sempat bertanya pada guru agama Hanif, “Apakah neraka itu bersifat materil, ataukah ia bersifat spirituil?” Guru agama Hanif, dengan tatapan marah menatap Hanif, lalu menjawab, “Wallahu a’lam. Lebih baik kamu selesaikan homework kamu!” Dan bagi Hanif, jawaban tersebut adalah jawaban orang yang tidak mampu untuk menjelaskan hakikat dari sesuatu yang sangat penting dalam agama. Artinya guru tersebut tidak berhak untuk menjadi guru agama bagi diri Hanif. Karena tidak puas dengan jawaban dari guru Hanif tersebut maka Hanif mencoba menjawabnya sendiri.
Pertama-tama kita ketahui bahwa ada hari kiamat yang disertai dengan fase kebangkitan. Pada fase kebangkitan, jasad-jasad manusia dikumpulkan kembali dan disusun ulang sesuai dengan perbuatannya semasa hidup dahulu. Jika pada diri manusia itu esensi kebintangannya lebih banyak daripada kemanusiaanya, maka ia akan dibangkitkan dengan rupa seperti binatang (bandingkan dengan reinkarnasi dalam Hindu). Artinya hari kebangkitan itu kemungkinan besarnya bersifat materil karena ia adalah hari dimana kita dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah kita kerjakan dalam ruang dan waktu semasa kita hidup. Jika hari kebangkitan bersifat materil, maka neraka pun seharusnya bersifat materil pula.
Kemungkinan besar? Ah, masih kemungkinan. Hanif tidak suka menerima kemungkinan!
Secara ringkas, Hanif berasumsi bahwa neraka bersifat materil. Alasannya adalah: tidak mungkin menyiksa manusia atau dalam bahasa fisikanya “memberikan medan gaya terhadap suatu benda” jikalau sumber penyiksa (medan gaya) itu memiliki materi yang berbeda substansi dan tidak dapat berinteraksi dengan jasad manusia. Nah, karena neraka bersifat materil, maka neraka adalah sesuatu yang berwujud mumkin. Karena bersifat mumkin, maka forma-nya pun selalu berubah. Jika ia memiliki forma yang selalu berubah, apakah neraka selalu membakar ataukah adakalanya ia boleh tidak membakar?
Alam semesta beserta isinya memiliki sebuah karakterisasi tertentu yang disebut massa (walaupun massa ini ternyata hanyalah subyektif belaka). Postulat dari Hukum Boyle mengatakan bahwa massa yang tersimpan dalam suatu energi dapat mempengaruhi suhu (temperature) dan tekanan (pressure) suatu ruang. Dengan memperhitungkan adanya manusia-manusia yang tergelincir dari shirath, jatuh ke neraka, maka kita dapat membayangkan bahwa suhu dan tekanan neraka mengalami peningkatan secara exponensial. Dengan dalil Boyle, secara thermodinamik, supaya materi dapat berada pada suhu yang tetap, maka ratio dari massa dan volume materi itu harus berada dalam nilai yang konstan dalam proses pemuaian.
Jadi, jika neraka memuai (expand) pada kelajuan lebih lambat (atau bahkan tidak memuai sama sekali) dari pertambahan banyaknya manusia yang memasuki neraka, maka suhu dan tekanannya akan mengalami peningkatan hingga titik maksimal dan neraka akan meledak lalu membebaskan panasnya yang bisa berakibat serpihan/uraian sisa-sisa ledaknya itu menjadi dingin dan beku. Dan sebaliknya, jika neraka memuai pada kelajuan lebih cepat dari pertambahan banyaknya manusia yang memasuki neraka, maka suhu dan tekanannya akan mengalami penurunan hingga suatu saat neraka pun menjadi dingin dan beku. Artinya, secara definitf, “Neraka” pada suatu waktu dalam keadaan tertentu, boleh jadi terkonversi menjadi “Bukan Neraka”.
Apa itu berarti bahwa siksaan di neraka itu tidak kekal? Yup! Walau kemungkinannya sangat sedikit, dan kemungkinan ini diperkecil lagi dengan adanya kalamullah yang berkata bahwa ‘orang kafir akan disiksa di neraka selama-lamanya’, tapi tetap ada kemungkinan. Asumsi di atas merupakan bukti bahwa ada celah di dalam sifat neraka yang membuat hakikat neraka itu tidak kekal. Artinya hanya Allah-lah yang Maha Kekal!
Inilah yang mendasari Hanif untuk menihilkan neraka dalam tahapan obyektif. Karena panas neraka adalah sesuatu yang subyektif dan aksidental, maka “orang yang benci dan tidak rela” akan memiliki persepsi yang berbeda jika dibandingkan dengan “orang yang segenap cinta dan keikhlasan” ketika mereka disiksa dalam api neraka akibat perbuatannya. Dan perlu diingat bahwa keikhlasan adalah merupakan jalan satu-satunya untuk terbebas dari segala sesuatu yang bersifat “ciptaan” – karena neraka pun adalah ciptaan Allah.
Sebelum menemukan tentang konsep imajinatif dari ruang dan waktu secara subyektif, beberapa tahun lalu semasa masih SMU (senior high school) Hanif sempat bertanya pada guru agama Hanif, “Apakah neraka itu bersifat materil, ataukah ia bersifat spirituil?” Guru agama Hanif, dengan tatapan marah menatap Hanif, lalu menjawab, “Wallahu a’lam. Lebih baik kamu selesaikan homework kamu!” Dan bagi Hanif, jawaban tersebut adalah jawaban orang yang tidak mampu untuk menjelaskan hakikat dari sesuatu yang sangat penting dalam agama. Artinya guru tersebut tidak berhak untuk menjadi guru agama bagi diri Hanif. Karena tidak puas dengan jawaban dari guru Hanif tersebut maka Hanif mencoba menjawabnya sendiri.
Pertama-tama kita ketahui bahwa ada hari kiamat yang disertai dengan fase kebangkitan. Pada fase kebangkitan, jasad-jasad manusia dikumpulkan kembali dan disusun ulang sesuai dengan perbuatannya semasa hidup dahulu. Jika pada diri manusia itu esensi kebintangannya lebih banyak daripada kemanusiaanya, maka ia akan dibangkitkan dengan rupa seperti binatang (bandingkan dengan reinkarnasi dalam Hindu). Artinya hari kebangkitan itu kemungkinan besarnya bersifat materil karena ia adalah hari dimana kita dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah kita kerjakan dalam ruang dan waktu semasa kita hidup. Jika hari kebangkitan bersifat materil, maka neraka pun seharusnya bersifat materil pula.
Kemungkinan besar? Ah, masih kemungkinan. Hanif tidak suka menerima kemungkinan!
Secara ringkas, Hanif berasumsi bahwa neraka bersifat materil. Alasannya adalah: tidak mungkin menyiksa manusia atau dalam bahasa fisikanya “memberikan medan gaya terhadap suatu benda” jikalau sumber penyiksa (medan gaya) itu memiliki materi yang berbeda substansi dan tidak dapat berinteraksi dengan jasad manusia. Nah, karena neraka bersifat materil, maka neraka adalah sesuatu yang berwujud mumkin. Karena bersifat mumkin, maka forma-nya pun selalu berubah. Jika ia memiliki forma yang selalu berubah, apakah neraka selalu membakar ataukah adakalanya ia boleh tidak membakar?
Alam semesta beserta isinya memiliki sebuah karakterisasi tertentu yang disebut massa (walaupun massa ini ternyata hanyalah subyektif belaka). Postulat dari Hukum Boyle mengatakan bahwa massa yang tersimpan dalam suatu energi dapat mempengaruhi suhu (temperature) dan tekanan (pressure) suatu ruang. Dengan memperhitungkan adanya manusia-manusia yang tergelincir dari shirath, jatuh ke neraka, maka kita dapat membayangkan bahwa suhu dan tekanan neraka mengalami peningkatan secara exponensial. Dengan dalil Boyle, secara thermodinamik, supaya materi dapat berada pada suhu yang tetap, maka ratio dari massa dan volume materi itu harus berada dalam nilai yang konstan dalam proses pemuaian.
Jadi, jika neraka memuai (expand) pada kelajuan lebih lambat (atau bahkan tidak memuai sama sekali) dari pertambahan banyaknya manusia yang memasuki neraka, maka suhu dan tekanannya akan mengalami peningkatan hingga titik maksimal dan neraka akan meledak lalu membebaskan panasnya yang bisa berakibat serpihan/uraian sisa-sisa ledaknya itu menjadi dingin dan beku. Dan sebaliknya, jika neraka memuai pada kelajuan lebih cepat dari pertambahan banyaknya manusia yang memasuki neraka, maka suhu dan tekanannya akan mengalami penurunan hingga suatu saat neraka pun menjadi dingin dan beku. Artinya, secara definitf, “Neraka” pada suatu waktu dalam keadaan tertentu, boleh jadi terkonversi menjadi “Bukan Neraka”.
Apa itu berarti bahwa siksaan di neraka itu tidak kekal? Yup! Walau kemungkinannya sangat sedikit, dan kemungkinan ini diperkecil lagi dengan adanya kalamullah yang berkata bahwa ‘orang kafir akan disiksa di neraka selama-lamanya’, tapi tetap ada kemungkinan. Asumsi di atas merupakan bukti bahwa ada celah di dalam sifat neraka yang membuat hakikat neraka itu tidak kekal. Artinya hanya Allah-lah yang Maha Kekal!
No comments:
Post a Comment